Alina pov
Masih dengan malam minggu kami.
Aku tak tahu persis berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk tertidur tadi. Yang kutahu tiba-tiba Mas Mahesa membuka kerudung yang menutupi wajahku, memanggil-manggil namaku pelan hingga aku terbangun. Hingga dia menuntunku ke sebuah kedai donat yang berada di pintu masuk Pasifik Mall, dan keluar dengan dua plastik berisi karton donat di tangan kirinya, aku baru tersadar kami sudah keluar dari studio bioskop dan sedari tadi aku terus memegangi bahan jaketnya."Mas..." kupanggil dia pelan.
Mas Mahesa menghentikan langkahnya dan berhenti di pintu lobi. Berbalik menatapku yang masih menatap semua yang di depanku dengan kabur. "Kenapa Dek ?"
"Kacamataku mana ?" Aku baru ingat telah mengganti lensa kontakku dengan kecamata saat makan tadi.
Mas Mahesa tersenyum, memintaku untuk memegang plastik yang ada di tangannya. Merogoh saku di bagian dalam jaketnya lalu mengeluarkan kacamataku, dia pasti melepasnya saat aku terlelap tadi. Dipasangkannya benda itu untuk dua mataku.
"Sudah cerah pandangannya ?" Tanyanya tersenyum simpul, mengambil kembali plastik di tanganku.
"Secerah apa ?" Kutatap dia dengan menyipit.
"Masa depan kita." Jawabnya mantap sekali.
Kutinju pelan bahu Mas Mahesa membuat dia terkekeh. Aku yang belum sepenuhnya sadar dari rasa kantukku tapi malah dia yang merancau.
"Kok belinya banyak banget Mas ?" Aku bertanya seraya melirik plastik yang berisi empat karton donat yang terbagi dalam dua karto donat.
"Buat Ibu Bapak sama Simbah dan Kakung di rumah." Jawabnya.
"Aku ngga ?" Tanyaku berpura-pura cemberut.
Lagi-lagi Mas Mahesa mengernyitkan matanya, sepertinya dia bermiat menggodaku lagi. "Alina kan sudah dapat cintanya Mas, mau apa lagi memang Dek ?"
Mas Mahesa mulai lagi, rasanya sekujur tubuhku meremang, antara geli tapi juga tersipu. Dia memang bisa saja. Sikapnya ini yang tak pernah membuatku jenuh walaupun terkadang dia lebih suka diam dengan muka datar tapi Mas Mahesa memiliki sisi humurisnya walau tak banyak.
Kembali kami melanjutkan langkah menuju mobil Mas Mahesa yang tak begiti jauh. Memasuki civic putih itu aku duduk di sampingnya yang kokoh di balik kemudi. Kami larut dalam diam. Aku sebenarnya tergoda untuk melanjutkan tidurku, tapi rasanya tak tega bila membiarkan Mas Mahesa hanya fokus pada jalan raya. Aku tidak sedang cemburu pada jalan raya, aku hanya tak mau mobil oleng karena Mas Mahesa yang mengantuk.
Namun ketika kukira kami akan langsung pulang Mas Mahesa justru melajukan mobil ini berlawanan arah jalan kami pulang. Aku tak banyak bertanya, hanya bersenandung pelan berharap dia tak akan mengantuk mendengar suara merduku. Hingga tak lama lagi-lagi mobil ini berhenti, kali ini di parkiran sebuah ruko yang sudha tutup.
Saat ini aku sudha tak bisa menahan rasa penasaranku lagi untuk tidak bertanya. "Mau kemana lagi Mas, kok berhenti ?"
Mas Mahesa melapas sabuk pengamanya, jaketnya sudah dia tanggalkan sejak mulai mengemudi tadi. Tangannya menunjuk keluar, ke sebrang jalan raya tempat beberapa pedagang kaki lima berkumpul. Seketika senyumku terbit, ada buah kesukaanku dan dia di jejer dengan rapih di atas tanah dan dipan.
Mas Mahesa menggandeng tanganku untuk menyebrang hingga kami berdiri di tengah-tengah lautan durian yang berbau khas. Beberapa buah kuangkat, merasa baunya dan membayangkan bagaimana rasanya saaf tercecap di lidah. Tak mau berlama-lama hanya membayangkan saja aku menghampiri Mas Mahesa yang tampak tengah berbicara dengan sang Penjual.
![](https://img.wattpad.com/cover/122921704-288-k341186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
عاطفيةSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...