30. Dua orang yang pernah ditinggalkan

2.9K 251 30
                                    

Alina pov

"Alina kamu kenapa ?" Wulan bertanya, kurasakan tangannya memegang pundakku pelan. Namun nyatanya aku dibuat hampir terkaget menjatuhkan gelas yang sedang kucuci.

Kini aku tengah berada di dapur rumah Wulan, membantu bebersih sisa-sisa peralatan yang baru saja digunakan untuk para tamu tahlil dan doa bersama mendiang bayi Wulan. Aku hanya bisa membatu sekedarnya saja, datang sesudah Isya bersama Simbah ke sini. Setelah malam ketiga hari itu aku memang baru bisa membantu, sebab baru mendapat giliran jaga siang sehingga saat malam aku bisa berada di rumah.

"Lin, kamu sakit ?" Kulihat wajah khawatir Wulan.

Seketika aku menggeleng. Memfokuskan diri untuk melakukan hal yang seharusnya kini aku lakukan. Sungguh malu mendapat pandangan bertanya dari beberapa tetangga yang kebetulan juga sedang membantu disini. "Ngga kok, cuma lagi ada sesuatu yang dipikirkan."

"Jangan terlalu dipikirkan Lin, nanti kamu bisa sakit."

Aku mengangguk, malu sendiri. Tak seharusnya kan aku sendiri begini. Mendapatkan nasihat dari Wulan, sedangkan seharusnya Wulan yang lebih membutuhkannya sebab musibah yang baru saja dia dapatkan. Aku tak bisa berkata-kata atas ketabahan wanita  di sampingku ini. Dia bisa dengan cepat bangkit setelah kematian anak yang selama ini dia tunggu-tunggu.

Selekasnya semuanya selesai aku pulang lebih dulu mendahului Simbah dan Kakung yang masih di sana. Entah mengapa kepalaku sedikit pusing sejak tadi. Mungkin akibat kekurangan gula, sebab dari pagi aku belum memakan sesuap nasipun. Yang masuk ke dalam perut hanyalah sebutir apel dan air putih. Aku tak selera, ada kekhwatiran yang membuat semuanya menjadi tak menyenangkan.

"Assalamualaikum," mengucap salam dan mendapatkan jawaban dari mbak Vivi dan mas Rama yang tengah menonton tv. Mereka kebetulan tengah menginap disini.

"Kamu kenapa, Lin ?" Tanya mbak Vivi.

"Aku ngga apa-apa Mbak, cuma agak capek." Aku berjalan melangkah lebih dalam memasuki rumah menuju kamarku. Melewati sepasang suami-istri itu.

Aku membersihkan tubuhku di kamar mandi kamar. Berbaring setelah hanya tersisa setelan piama tidur panjangku di tubuh. Aku mematikan semua cahaya yang memancar hanya meninggalkan cahaya dari obat nyamuk elektrik dan AC.

Aku butuh keheningan untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku merasa ada sesuatu yang tak sebaiknya. Ada hal yang masih tersembunyi tapi aku terlalu takut untuk mengetahui yang sebenarnya.

Ceklek...

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, dengan cahaya kamar yang kini kembali terang setelah mbak Vivi masuk ke kamarku membawa nampan yang berisi makanan.

Aku merubah posisiku yang semula meringkuk miring menjadi duduk. Bergeser sedikit untuk memberi mbak Vivi ruang duduk di sampingku setelah meletakan nampan diatas nakas. Kami bersender ke kepala ranjang.

"Kamu kenapa, Lin?" Mbak Vivi bertanya lembut.

Aku diam memikirkan kalimat yang hendak kuucapkan. Apakah aku butuh teman untuk berkeluk kesah saat ini? Namun pilihan untuk mencurahkan isi hatiku kepada mbak Vivi saat ini adalah saat yang tepat. Aku memang jarang menceritakan permasalahanku kepada orang lain, tapi aku butuh pencerahan.

"Mbak sama mas Rama punya mantan ?" Aku bertanya ragu.

Kuamati dari samping mbak Vivi tampak mengangguk. "Mbak punya satu, mas Rama banyak."

Aku menahan nafasku, saat kudengar kata banyak. Benarkan? Apa laki-laki memang begitu ?

Tampaknya mbak Vivi mengetahui keterkejutanku. Kudengar suara tawanya, berupa kekehan pelan.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang