58. Mampukah aku

1.8K 205 30
                                    

Surat izin menikah sudah di tangan. Padi untuk acara hajatan di rumah sudah digiling. Tanggal sudah ditetapkan, namun undangan belum dicetak sebab satu masalah belum terselesaikan. Pemaes yang akan meriasku belum juga ditemukan. Hari ini adalah waktu pencarianku yang ke-7, sudah kuputari, Brebes--Tegal--Slawi--Pemalang. Sudah ku hampiri beberapa pemaes namun selalu saja ada yang kurang. Bukannya aku yang rewel tapi ada saja kendala.

Aku pergi Selatan Brebes, hingga naik ke gunung untuk menemui salah satu pemain rekomendasi dari rekanku di rumah sakit,  namun ternyata dia hanya melayani paes adat Sunda. Yang benar saja, Bunda keturunan Semarang-Salatiga sementara Ayah warga asli Kota Bawang, Mas Mhesa pun orang Tegal. Tak ada sedikitpun darah Sunda yang mengalir di tubuhku atau lainnya meski di Brebes ada sebagian yang berdarah Sunda juga Jawa, aku masuk di opsi kedua. Baru kemarin pula aku aku datang ke Pemalang yang atas perintah Simbah, katanya ada seorang pemaes teman alamarhum Kakung yang berprofesi sebagai pemaes disana, namun saat datang ke tempatnya hanya ada seorang Ibu yang sudah Renta tengah menyapu halaman rumah, saat kusebutkan nama yang kucari wanita itu menitikan air matanya, adiknya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Aku juga mendatangi pemaes yang kulihat dari internet, namun saat ku datangi ternyata mereka hanya melakukannya rias adat jawa bukan memaes dan melakukan semua prosesi pernikahan. Saat kutemukan yang cocok Bunda tak menyetujuinya, Aku diminta bersabar sedikit lagi dia juga sedang mencari pemaes lain di sekitar Semarang.

Kini ini aku tengah duduk di teras rumah, menunggu siapa lagi kalau bukan Mas Mahesa. Sebelumnya yang dia katakan akan menemaniku mencari pemaes Nyatanya dia tak pernah sempat selalu sibuk saja di Kesatuannya. Ini hari Sabtu, tanggal merah katanya dia akan benar-benar menemaniku hari ini, setelah dua hari aku hanya diam saat dia menelepon. Tapi lagi-lagi sepertinya dia tak menepati janjinya tentang ini. Katanya dia akan datang saat Jam menunjuk angka 9, tapi kini saat selamat siang sudah bisa diucapkan dia masih belum juga datang seingatku dia orang yang sangat tepat waktu sejak kapan jadi berubah seperti ini.

Berkali-kali aku menengok ponselku, mengirimi beberapa pesan dan panggilan ke nomornya dengan tak sabar namun tak mendapatkan jawaban. Apa iya dia sedang mendapatkan tugas dadakan tanpa sempat memberitahuku? Seharusnya dia sempatkan.

Suara mobil yang masuk ke dalam halaman rumah menyedot fokusku dari ponsel dan Mas Mahesa. Pakle Eko dan Bukle Ainun turun dari mobil dinasnya, memang setiap libur mereka baru akan pulang dari rumah dinas ke sini sebab Simbah ada di Semarang. Aku berdiri dari dudukku, menyalimi tangan keduanya.

"Mbak Vivi dimana Lin?" Bukle Ainun bertanya.

"Lagi ngajak Rafi main air di kolam renang Bukle."

"Oh, Bukle kedalem dulu, Pak?" Pamitnya, aku dan Pakle mengangguk.

"Mau kemana kamu, Lin?" Tanya Pakle setelah duduk di salah satu kursi yang ada.

"Mau ke Talang Pakle, katanya ada pemaes juga disana. Tapi nunggu Mas Mahesa ngga dateng-dateng." Jawabku.

"Loh, kamu ngga dikasih tau Mahesa ada kegiatan di Padmakusuma tadi pakle ketemu, mungkin sorean baru selesai."

Dahiku seketika berkerut dalam, kuhela napas kasar. Lagi. Tahu begini Seharusnya aku berangkat saja sendiri dari tadi, tidak menunggu dan membuang-buang waktu seperti ini. Nanti sore aku juga ada urusan, dia kira aku pengangguran.

Aku berdiri dari dudukku meraih tas dan ponselku di atas meja di hadapan kami.

"Pakle aku masuk dulu ke dalam." Pamitku.

Mood ku sudah terlanjur kacau, jika biasanya mungkin aku bisa pergi sendiri  setelah pulang dari rumah sakit, biarlah tak usah dicari lagi. Waktu kami tinggal 17 hari lagi, biarlah berlalu dengan sia-sia.

My Midwife  Is My Future [AUTHOR NGARET]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang