Empat bulan berlalu, kini genap enam bulan Mas Mahesa berangkat. Masih tak ada kabar. Kurasa ponselnya hilang, atau mungkin dia tak bisa membeli paket internet dan pulsa karena tidak punya uang.
Kabarku baik. Aku sudah mulai melanjutkan S2ku. Sabtu-Minggu aku akan ke Semarang untuk kuliah, lalu Senin sampai Jumat aku akan bekerja. Tak ada libur, semua padat. Tapi aku juga memperbaiki pola hidupku dan semua tak ada masalah.
Kini aku tengah duduk di ruang keluarga. Bersama Simbah dan Kakung, Pakle Eko, Bukle Ainun dan Fahri yang tengah libur tahun baru dan natal. Mas Rama dan Mbak Vivi duduk di sampingku. Kini dipangkuanku ada seorang bayi kecil yang Mbak Vivi lahirkan secara normal, namanya Ravi, gabungan dari nama kedua orang tuanya.
Bayi kecil itu terlelap di dekapanku tanpa terusik sedikitpun dengan gangguan dan suara bising di sekitarnya. Meski sebuah tangan kasar berusaha mengusik ketenangannya. Justru aku yang naik pitam.
"Fahri! Tangan kamu gatel banget." Aku melotot ke arah Fahri yang terus menerus mengusapkan jarinya ke telapak kaki Ravi.
Dia meringis. "Halus banget ya Mbak? Kakiku kok kasar yah?"
Aku kian melotot. "Lah kaki kamu tembelek juga diinjak gimana kaki ngga kasar." Ujarku sewot, mengecil pada kata yang sebenarnya tak baik untuk dikatakan.
"Alina..." Suara Simbah memperingatkan. Yang lain tergelak.
Dia menetap cengok. "Mas tembelek apa?" Tanyanya menghadap ke arah Mas Rama.
"Tai ayam."
"Mbak Alin," Dia menggeram.
Lagi-lagi suara tawa pecah di ruangan ini. Fahri memang lucu, kami berteman baik, aku senang punya seorang adik lagi. Ini memang pertemuan kedua kami, baru kemarin lusa juga dia pulang tapi kami sudah akrab, sudah bisa cekcok tak guna. Dia memang seorang Taruna tapi jiwa kekanakannya masih terasa.
Aku mengembalikan Ravi ke gendongan Mbak Vivi ketika ditengok jam di dinding telah menunjuk jam sembilan pagi. Berdiri dari dudukku dan hendak pamit sebelum undur diri dari ruang keluarga.
"Kung, Mbah, Pak-Bukle aku pamit mau muter-muter ngotel."
Kakung mengangguk.
"Hati-hati." Yang lain memberi pesan.
Mengangguk, mengiyakan.
Aku masuk ke dalam kamarku mengganti baju rumahanku dengan kaos panjang berwarna putih dan celana training hitam, tak lupa mengganti kerudungku dengan kerudung instan. Tabir surya di seluruh permukaan kulitku juga tak akan terlupa, juga uang dan ponsel yang dimasukkan ke saku celana lalu menutup resletingnya. Setelah semua ku rasa siap aku keluar dari kamar, berjalan ke dapur untuk mengambil botol air di dalam kulkas yang telah disiapkan. Melangkah keluar dari rumah lewat pintu belakang dan berjalan menuju garasi yang terletak di samping gudang bawang.
Aku menjatuhkan rahangku saat melihat Fahri sudah duduk di atas sepeda lengkap dengan helm dan sepatu, berbalut kaos berlogo Akademi Militer dan celana pendek di atas lutut.
"Ngga usah terpesona gitu, Mbak!" Kata-katanya memecah keheranannya.
"Kamu ngapain?" Aku mengernyit menatapnya penuh keheranan.
"Ikut Mbak Alina, jagain Mbak." Jawabnya.
Kerutanku makin dalam. "Mbak bukan anak kecil! Ngga perlu kamu jagain sana mending kamu masuk. Nonton TV, di Akmil ngga bisa nonton."
Aku melanjutkan langkahnya masuk ke garasi, mengambil helm dan sepeda milikku. Tak peduli pada pemuda itu yang tiba-tiba cemberut yang sangat tak pantas dengan tubuh atletisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
Roman d'amourSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...