Kini aku sudah baik-baik saja. Sedikit lebih baik dalam pengendalian diri. Hari-hariku juga kulalui dengan baik. Pergi berangkat ke rumah sakit, pulang ke rumah begitu setiap hari. Kadang jika tak sibuk aku akan jalan-jalan ke mall sekedar menonton film atau makan di luar bersama Simbah jika wanita itu sedang tak ke Semarang.
Minggu lalu aku datang ke Semarang untuk bertemu dengan Meisya, juga menghadiri acara empat bulanan Viona. Aku bisa menjawab semua pertanyaan dari orang-orang dengan baik.
"Alina kapan menikah?" Tanya teman Bunda.
Aku hanya tersenyum. "Doakan saja segera Tante."
"Kalau nanti menikah harus undang yah? Jauh pun Tante akan sempatkan datang."
Aku cukup tersanjung. Yang lain lalu ikut menimpali dengan pertanyaan yang hampir sama namun berbeda kalimat.
"Adiknya sudah mendahului, kamu ngga mau cepat-cepat menyusul?"
"Karir kamu sudah bagus Lin, bulan depan wisuda juga yah? Kata Bunda. Cari jodoh toh Nduk, perempuan masanya cepat."
"25 tahun sudah dewasa untuk berumah tangga."
Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawaban. Tak mungkin juga membekap mulut-mulut itu. Hanya bisa berdoa semoga aku bisa naik haji secepatnya. Diingatkan pula beberapa bulan lagi ulang tahunku yang ke 26 tahun, membuatku sedikit berpikir serius.
"Sudah ada calon kah?"
Kalau itu tak bisa kujawab. Mas Mahesa itu sebenarnya apa, pun aku bingung.
"Mau Tante kenalkan dengan anak Tante?"
Tidak mungkin aku mengiyakan.
Sudahlah, bingung sendiri aku dibuat. Kini aku sedang dalam perjalanan keluar dari rumah Simbah. Membelah jalanan untuk sampai ke rumah Ibu. Setelah berulang kali menguatkan diri, memang sudah saatnya aku datang. Atas perintah Bunda untuk mengantarkan kain tenun yang dia dapat dari Kalimantan saat ikut Ayah kesana, Bunda tak mengizinkanku mengirimnya dengan kurir seperti biasanya. Dan dengan rindu untuk Ibu aku datang kesana. Mengenyahkan segala pikiranku tentang Mas Mahesa. Walaupun kami tak berjodoh tak sepantasnya aku melupakan wanita baik itu yang kadang menanyakan kabarku, mengirimiku keripik pisang kesukaanku yang sengaja dia buat sendiri.
Aku harus kuat bila menemui pigura besar berisi potret Mas Mahesa dengan perempuan yang bukan aku di samping foto pernikahan Mas Rio dan Mbak Bila. Kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Mobil kuhentikan di depan jalan menuju rumah Ibu. Menatap ke depan, menggenggam setir erat-erat. Jika prasangkaku itu benar, apapun tak boleh terjadi padaku. Tak perlu lagi ada sedih, toh saat Mas Mahesa pergi aku sudah menyiapkan diri seandainya dia bertemu dengan perempuan yang lebih baik dariku.
Helaan demi helaan kulepaskan. Hingga helaan yang terkahir keluar tanganku bergerak meraih wadah bedak dari dalam tasku. Menghadapkan wajahku pada cermin di dalamnya, wajahku masih baik-baik saja. Semoga aku tak nampak seperti gadis menyedihkan yang tak bisa move on sebab itu kenyataannya.
Kembali kuinjak gas, masuk ke dalam jalan itu. Lalu berhenti di depan ruamh bercat putih dengan halaman luas. Kuraih tas selempangku dan tas karton berisi titipan Bunda. Menggigit bibirku pelan sebelum akhirnya melangkah keluar dari dalam mobil.
Rumah itu tampak sepi, tapi ini hari libur seharusnya Ibu ada di rumah tidak keluar untuk mengajar jika dia tak sedang pergi. Aku masuk melalui gerbang kecil yang tak terkunci, berjalan melewati pelataran luas hingga samapi di teras rumah dan mengetuk pintu.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam." Terdengar suara seseorang menyahut. Itu bukan suara Ibu, tapi suara perempuan dan bukan Mbak Bila.
![](https://img.wattpad.com/cover/122921704-288-k341186.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Midwife Is My Future [AUTHOR NGARET]
RomantikSiapapun tidak akan pernah bisa mencintai untuk kedua kali dengan cara yang sama setelah merasakan suatu kekecewaan. Alina Maudia, seorang bidan cantik lemah lembut. Hanya mengisi hidupnya dengan satu hal. Mengabdi pada Negara dengan membantu proses...