Aku tahu aku tak secantik dia, atau mungkin dia lebih membuatmu tertawa dibanding aku. Aku rela kau pergi denganya, aku rela kau meninggalkanku asal kau memberiku alasan, alasan yang membuatku luka agar aku mudah melupakanmu.
Dan akhirnya kau memberikan alasan itu dan aku terima itu, walau dia temanku dan walau kau pernah menjadi milikku aku tak akan pernah sekalipun melarang dia menerima cintamu, dan aku tak akan melarang kau dan dia muncul dihadapanku dan aku takkan akan pernah marah pada kau dan temanku yang kau cinta, karena aku yakin ini semua udah ditentukan.
Mungkin aku terluka, mungkin semua menganggapku tak berperasaan karena melepasnya, mereka tak tau aku terluka, aku melepasnya bukan karena aku tak cinta denganya tapi aku tak mau memaksanya.
Berbulan-bulan aku ingin menepis perasaan ini, setiap detik aku ingin melepas semua pikiranku, kau tahu hanya karena sengenggam cinta bisa membuatku seperti ini, membuatku selalu merasa hujan.
Tak pernah pandanganmu dan pandanganku lepas saat kau menjeputnya, saat itu aku berharap dan aku berusaha menepis rasa yang semakin besar, mungkin kau marah padaku karena kau mengira aku provakator atas tindakan teman-temanku karena kekasihmu dan sekaligus sahabatku tersebut diolo-olok karena kau dan dia bersama saat kita bersama juga, asal kau tahu walau dia sudah memiliki hatimu dia merebut semua perhatianmu tapi aku tetap membelanya, aku mengorbankan apapun demi dia agar dia jauh dari olokan, aku tak pernah berpikiran balas dendam padanya walau aku sakit hati aku tak selicik itu, "andai kau tahu itu"
Dengan jalannya detik waktu, aku merasakan ada yang ganjal dari sahabatku, dia sering termenung, matanya sering sembab, walau jarak kami sempat renggang tapi aku tetap menjaga agar persahabatan ini tetap pada kata erat. Aku ingin menanyakan tapi satu hal yang tidak ingin kudengar aku takut dia mengatakan nama kekasihnya karena itu sangat menyakitkan.
"Hai?beberapa hari ini kau terlihat bersedih?are you okey, Thif?" tanyaku dengan lembut, dan mengenggam tangan kuat tanganya dan dia semakin menangis sesunggukan, aku semakin bingung apa yang harus aku lakukan saat ini, aku ingin menenangkanya tapi saat ini aku juga terluka, tapi aku tidak tahu apa yang membuat Thifa menangis seperti ini, biasanya dia tak akan menangis saat berada ditempat terbuka seperti ini.
Tak berapa lama setelah dia merasa tenang, Thifa mulai mengeluarkan sepatah kata yang tak pernah kuduga sebelumnya karena aku tak pernah mempersalahakan, "karena cinta dan perasaan memang tak pernah salah, kita tak tau perasaan ini akan diberikan kepada siapa"
"Maafkan aku, Ra, aku memang salah, aku tahu sekarang bagaimana sakitnya kau saat aku menerima Aidan, padahal aku tahu kau dan dia sangat mencintai walau dia sempat tidak kukuh pada cinta sebenarnya" jawab Thifa dengan suara yang masih parau karena rengekan lukanya, aku tak tahu dengan apa yang terjadi denganya, aku tak tau apa yang dimaksud, kenapa berhubungan dengan Aidan.
"Apa yang kau katakan Thifa, tak seharusnya kau berbicara seperti ini, karena kau dan Aidan sekarang saling mencintai dan seharusnya kau tak merasa bersalah karena ini jalan cinta kita bertiga, kau dan dia dijodohkan dengan perantara aku, karena jalan cinta semuanya bermacam-macam Thif!"jawabku sendu, entah mengapa menyebut nama Aidan membuatku sakit, membuatku perih, air mataku mulai menetes, aku tak kuat melihat sahabatku seperti ini, apakah Aidan melukainya?.
"Tidak Aira, aku dan dia sekarang memang bersama tapi sebenarnya cintanya hanya untuk kau, dia berpaling darimu karena kau tak pernah menyatakan perasaanmu yang sebenarnya pada dia, kau tak pernah mengungkapkan kau cinta denganya, walaupun Aidan tahu kau mencintainya Ra!"
"Apa yang kau bicarakan Thif, aku tak mengerti!' jawabku dengan nada sdikit meninggi, mungkin Thifa merasakan perbedaan nadaku.
"Aku dan dia putus, karena dia mencurahkan semuanya padaku, mungkin awalnya aku terluka tapi lukaku tak sesakit dengan apa yang kau rasakan Ra".
Aku tak menjawab perkataan yang dilontarkan Thifa, karena aku tak menyangka atas semua ini, aku benar-benar tak tau apa yang harus kulakukan, jujur aku bahagia karena dia mencintaiku tapi aku sedih karena Aidan melukai sahabatku.
"Aira, Ra? jangan memikirkan perasaanku karena ini memang jalanya, dia berpesan padaku jika kau masih mencintainya, pergilah ke Danau Piedra, temuilah dia Ra!"
Inikah jalan yang sebenarnya Tuhan, aku mencintainya, aku takkan melepasnya lagi, aku berjanji aku akan memenuhi apa yang kau minta Aidan.
~POV Aidan~
Mungkin, aku melukainya atau memang bukan mungkin tapi aku benar-benar melukainya, aku sadar caraku salah, aku sadar ketika aku melihatnya menangis tersedu di danau, aku tau dia membutuhkanku saat itu, tapi apa dayaku, aku telah melukainya dengan pergi dan menjalin hubungan spesial dengan Thifa sahabatnya, aku melakukan ini hanya karena Aira tak pernah mengungkapkan perasaanya, itu adalah alasan yang sepele dan aku melukainya karena keegoisanku, dan akhirnya aku tak kuasa dengan semua sikapku denganya, aku menceritakan semua ini pada Thifa, aku tahu saat itu Thifa sangat terluka, tapi aku tak bisa membohongi semuanya karena hanya menginginkan kata cinta Aira walau Aira menunjukknya dengan sikapnya.
Aku berharap Aira masih mencintaiku, aku berharap aira menemuiku disini, aku berharap Aira menerimaku kembali.
Tak beberapa lama aku menunggunya aku melihat dia, aku melihat dia dengan langkah kecil kakinya berlari mengahampiriku dengan tangisan, aku tak tega melihatnya aku berlari untuk mendekatinya, aku memeluknya begitu erat, aku tak melepaskan pelukan itu walaupun Aira tak lagi menagis, kata demi kata mulai terucap, aku tak menyangka dia masih mncintaiku.
"Aidan, maafkanku, aku tak mau kita terpisah lagi, aku tersiksa saat kau pergi, jangan tinggalkanku, aku masih mencintaimu"ucap aira ditengah-tengah tangisan Aira, disaat itu juga aku merasa jahat karena melukai Aira, aku benar-benar telah menyia-nyiakan Aira, aku tahu Thifa lebih cantik tapi Aira terlihat cantik karena kecantikan dalamnya membuatku tetap bersama dengan kekurangan yang dia punya, "Maafkanku, aira, aku telah melukaimu tapi aku mencintaimu sangat mencintaimu Ra" jawabku dengan mencium puncak kepala dengan penuh kasih sayang, hingga kini aku tak melepaskan pelukanya karena hasrat rindu yang tak tersampaikan.