(Sebelum baca dimohon persiapkan hati kalian terlebih dahulu karena terdapat banyak LUKA di dalamnya)
-Aku, Kamu, dan Masa Lalu-
Namanya Naushafarina Qanshana, mereka biasa memanggilnya Shana, si gadis gila, atau crazy girls.
Shana adalah gadis pe...
Shana mengerjapkan matanya beberapa kali, setelah kedua matanya terbuka dengan sempurna perlahan dia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Dia menghela napas ketika mengingat kejadian tadi siang bersama kakaknya. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya juga terasa pegal-pegal membuat dia tidak bisa memejamkan matanya kembali, ditambah tenggorokanya terasa kering, dia haus.
Shana mencoba duduk dan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Dia baru menyadari kalau dirinya masih mengenakan seragam sekolah dan jaket milik Galen masih melingkar di pinggangnya. Shana mengambil ponselnya yang berada di nakas tepat di sampingnya, matanya membulat melihat jam menunjukan angka dua pagi. Pantas saja langit masih gelap, pikirnya.
Shana berdiri lalu menyalakan lampu kamarnya, melepas jaket milik Galen yang melingkar dipinggangnya kemudian berjalan menuju kamar mandi.
"Ewhh ..." ringisnya ketika melihat noda merah hampir memenuhi punggung jaket milik Galen.
Setelah mencuci jaket tersebut Shana kemudian membersihkan diri alias mandi. Tidak membutuhkan waktu lama hanya dua puluh menit, kini dia keluar dari kamar mandi sudah mengenakan pakaian tidurnya. Gadis itu mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, menghela nafas berat ketika kembali mengingat perkataan kakaknya.
'Kamu pikir dengan bunuh diri semua orang bakal berubah kaya dulu lagi? Nggak Shan. Kesalahan kamu di masa lalu terlalu besar. Kamu nggak tau gimana rasanya kehilangan. Bahkan kamu natap mereka datar, nggak ada sedikit pun air mata yang keluar dari mata kamu waktu itu. Kakak sempat mikir, sebenarnya kamu itu manusia atau bukan?'
'Kamu emang salah. Seharusnya kamu nggak ada di tengah-tengah keluarga Williams, kamu tuh pembawa sial!'
Shana mendongakkan kepala, sejenak dia memejamkan mata seolah menikmati rasa sakit yang kini mendera dadanya.
Kehilangan? Dia bahkah sangat tau bagaimana rasanya kehilangan. Tanpa mereka sadari dia yang paling hancur. Sementara mereka larut dalam kesedihan masing-masing tanpa peduli apa yang tengah dia rasakan. Mereka menyimpulkan tanpa peduli apa yang sebenarnya terjadi, yang mereka tau dia salah! Sudah itu saja.
Dia ingin marah, rasanya ingin menyumpahi takdir yang sudah tertulis. Tapi dia tau, tidak ada yang lebih sia-sia selain menyumpahi takdir. Berharap mereka mengerti apa yang tengah dia rasakan? Hei ... manusia terlalu bebal untuk mengerti banyak hal. Mereka terlalu egois berkesimpulan sebelum benar-benar mengerti padahal pengetahuan mereka hanya seujung kuku. Dia tau bagaimana rasanya kehilangan, sangat tau.
Entah bagaimana dia menggambarkan perasaannya waktu itu. Matanya terpaku pada puluhan orang di depannya tengah meraung menangisi kepergian seseorang. Dia masih belum percaya takdir apa yang tengah ditulis tuhan kala itu. Yang bisa dia lakukan hanya berbisik pada dirinya sendiri bahwa semua baik-baik saja dan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak tumpah.
Hidup kita tidak akan pernah tenang jika kita belum berdamai dengan masa lalu.
Kenyataan itu memang benar. Tapi dia belum siap untuk berdamai. Sampai detik ini rasa bersalah itu masih ada, menyelimuti hidupnya, dan mengikuti kemana pun dia pergi.
Rasa bersalah yang dia hadapi semacam Survivor Guilt kalau kata dokter Shella, perasaan dimana rasa bersalah muncul tanpa tau secara jelas dimana letak kesalahan yang dia buat. Dia terkunci dalam imajinasi yang dia ciptakan sendiri. Tidak ada yang mengetahui selain dirinya dan juga tuhan.
Hidupnya penuh ketakutan. Dia terjebak dalam imajinasi yang diciptakan pikirannya sendiri. Setiap mengingat masa lalu tubuhnya bereaksi tidak normal. Keringat dingit terus bercucuran membasahi setiap inci wajahnya. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu tapi dia tidak tau mau mengatakan apa. Meracau tidak jelas bahkan berteriak histeris. Ketakutan mengendalikan tubuhnya. Setiap mengingat masa lalu dia selalu melihat banyak sorot mata tajam seolah ingin membunuhnya detik itu juga. Bayang-bayang itu menatapnya penuh kebencian. Tanpa dia sadari imajinasi yang dia ciptakan sendiri yang mempermainkannya. Shana tersiksa tanpa sadar.
Dia masih mengingat perkataan Dokter Shella— Psikolog yang menanganinya. Waktu itu Dokter Shella berkata.
'Kemungkinan sembuh itu sudah sangat jelas Shan, namun metode penyembuhan juga membutuhkan motivasi dari diri sendiri, dari keluarga, dan juga orang-orang terdekat di sekitarmu, keterlibatan orang-orang terdekat lah yang sangat berperan penting dalam proses penyembuhan kamu sayang,'
Shana tertawa hambar sambil mengusap air matanya dengan kasar kala mengingat perkataan Dokter Shella. Bagaimana mungkin mereka memberi motivasi untuk kesembuhannya kalau mereka saja tidak menginginkan keberadaannya. Mereka tidak peduli bahkan menganggapnya gila.
Lelucon macam apa ini?
Lagi-lagi Shana tertawa hambar lalu menggelengkan kepala. Dari pada memikirkan hal yang tidak penting yang mampu membuatnya kembali gila lebih baik dia tidur. Jam sudah menunjukan pukul tiga, masih ada waktu dua jam untuk kembali mengistirahatkan tubuhnya sebelum bertempur kembali dengan rasa sakit, karena pura-pura baik-baik saja juga butuh tenaga.
Sebelum menarik selimutnya Shana melirik ponselnya, 'siapa tau ada yang menghubunginya' pikirnya.
Tidak ada.
Lagi-lagi dia menggelengkan kepalanya pelan sembari terkekeh. Geli sendiri dengan tingkahnya. 'Siapa yang mau menghubungi kamu Shana, temen aja kamu nggak punya' batinnya merutuki dirinya sendiri.
Dia kembali meletakan ponselnya di nakas, menarik selimut kemudian mencoba memejamkan mata. Namun belum ada lima menit ponselnya berbunyi.
Kling!
'Mungkin operator,' ucapnya dalam hati lalu kembali mencoba memejamkan mata.
Kling!
Shana mencoba mengabaikan suara yang berasal dari ponselnya.
Kling!
Kling!
Kling!
Sekarang Shana benar-benar penasaran. Tidak mungkinkan operator? Walaupun operator bisa dikatakan setia tapi tidak mungkin juga mengirim pesan sampai lima kali dalam waktu satu menit.
Shana mendengus lalu menyibakkan selimutnya kemudian mengambil ponsel melihat siapa yang mengirim pesan di pagi buta seperti ini. Matanya membulat sempurna saat mendapat notifikasi WhatsApp di layar ponselnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Unknow number P Galen Save ya, calon masa depan😘 P P Udah tidur ya? Shan Oke good night Mimpi indah sayang
TBC KASIH TAU KALAU ADA TYPO YAPS Terimakasih yang udah mau baca dan dan meninggalkan jejak