Chapter 13: Obsesi

4.7K 444 57
                                    

Gisha yang sudah terlalu sangat muak dan tidak tahan akhirnya menggebrak meja pelan. Farensa menggenggam erat tangan Gisha, takut anak itu kelepasan.

Percakapan terhenti. Semua pasang mata terpusat pada gadis itu. Karel bahkan sudah melotot tajam ke arah Gisha, memperingati gadis itu untuk bertingkah sesuai yang ia ucapkan tadi.

"Gisha kamu kenapa?" Sarah merasa ada yang tidak beres dengan Gisha.

"Gimana Gisha? Apa kamu keberatan?" Arlan memastikan.

"Maaf sebelumnya mengganggu, Gisha cuman mau ijin ke toilet sebentar," ucap Gisha membuat para orangtua lega. Terlebih Karel dan Farensa yang nyaris copot jantung akibat ulahnya.

Sarah tertawa renyah, ia sudah berpikiran negatif tadi. "Oohhh Tante kirain ada apa, Gi."

Gisha berdiri dari duduknya. "Enggak kok tante."

Farensa lalu melutik tangan Gisha dan bertanya lirih. "Ada apa?" tanya wanita itu khawatir.

Gisha lalu balas berbisik. "Sedikit gak nyaman perut Gisha."

Sarah jadi takut terjadi yang tidak-tidak dengan Gisha. "Kamu sakit?" ucapnya penuh perhatian.

Gisha menggeleng. "Tenang aja tante, cuma masalah sepele."

"Jangan disepelekan Gisha. Hal sepele bisa jadi fatal lho."

Ck. Sarah meresponnya dengan berlebihan.

"Gak pa-pa kok, Tan. Cuma mual."

"Oh ya sudah silahkan saja Gisha kalau mau ke luar," ucap Arlan mempersilahkan dengan ramah.

Gisha menghela napas lega. Ia lalu sedikit membungkuk sebagai ucapan terimakasih.

Gadis itu pun berjalan keluar dari sana. Alih-alih berjalan ke toilet, ia justru jalan-jalan berkeliling resto ini. Gisha memang merasa pengap tadi di sana. Bukan karena ruangannya sempit dan panas. Akan tetapi, pembahasan mereka yang membuatnya sangat tidak nyaman.
Perihal mual, itu memang benar. Mungkin karena panic attack. Akan tetapi, Gisha hanya butuh pasokan oksigen di luar ruangan itu.

Gadis berkucir itu menghampiri balkon resto yang langsung memamerkan keindahan pemandangan kota di malam hari dari atas. Gisha berdiri di sana menikmati suasana malam yang terang, untuk suasana hatinya yang gelap.

Hembusan angin kecil menampar pipinya lembut. Ia juga melihat bintang-bintang yang tersebar di langit malam. Pemandangan di sini jelas jauh lebih menyenangkan dibanding di dalam sana.

Jika ada yang bertanya apakah Gisha menyerah dengan perjodohan ini, jawabannya tidak. Gisha hanya sedang berpura-pura pasrah saja mengikuti mau papahnya. Tapi ia akan terus berusaha sebisa mungkin untuk menghentikan perjodohan itu.

"Dorrr."

Ketika Gisha sedang menikmati apa yang ada di hadapannya, tiba-tiba seseorang menghampirinya, membuat Gisha berjengkit kaget.

"Anj---" umpatan Gisha mengambang di udara.

Gisha lantas melirik sinis remaja itu. Ya, Adriel. Gisha mendengus. Jika saja itu orang lain, ia akan menghabisinya dengan kata-kata mutiaranya seperti biasa.

Dan Gisha juga menyesali dengan dirinya sendiri yang ketika kaget atau mendapat sebuah ancaman entah kecil atau besar, ia respon dengan kasar.

Sialnya saraf motorik Gisha ketika ia sedang terkejut alih-alih merespon dengan kata 'astaga', 'ya Tuhan' atau 'astagfirullah', ia justru malah membawa nama hewan sekebun binatang. Beruntung saja tadi ia tidak menyelesaikan umpatannya di depan Adriel.

RESHA  [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang