"Sel, kau masih di sini?"
Membetulkan kacamataku, aku menatap Joanne yang sudah siap berkemas di depan pintu ruangan. Aku menoleh dari pekerjaan di depan layar menuju jam di ujung bawah layar komputerku.
Sudah selarut ini, pikirku dalam keterkejutan.
"Kuharap kau beristirahat dengan cukup, Sayang," ucap Joanne menyeringai. "Kita berangkat ke Milan besok."
Aku segera berbenah. "Kau benar," balasku sekenanya sembari membereskan apa yang ada di atas mejaku.
"Bolehkah aku pulang dulu?"
Dia tidak harus izin padaku untuk pulang duluan. Tapi selama ini Joanne selalu menungguku dan kami akan pulang bersama dengan bus.
"Easton menunggu?" tanyaku. Itu cukup mengagetkan, mengingat setahuku, sejak dari Florida, kami berpisah karena Tuan Phillip harus kembali ke Eropa karena ada panggilan pekerjaan mendadak. "Dia masih di sini?"
Semoga Joanne tidak mendengar suara hati kecilku yang berharap.
"Winston saja yang tinggal. Katanya, dia masih ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan di New York sebelum kembali ke Liechtenstein."
Oh, jika diingat-ingat lagi, aku tidak tahu apa urusan Winston datang kemari. Apakah dia juga seorang banker seperti saudara dan sahabat pangerannya itu?
"Ah, benar juga. Apa kaubutuh tumpangan? Kami bisa mengantarkanmu dulu."
"Tidak, aku akan memesan Uber."
"Kau yakin?"
"Aku tidak ingin mengganggu kalian, ok? Lagi pula tidak seperti aku tidak bisa pulang tanpamu, Jo."
"Kemarilah, biar aku cium keningmu."
"Pergi atau aku akan mengosongkan posisimu malam ini juga."
Senyum usil penuh kemenangan mengembang di wajah si cantik gadis berambut merah. "Sampai jumpa besok di bandara, kalau begitu." Tanpa menungguku menjawabnya, ia sudah berbalik dan berjalan menjauh.
"Berhenti bermain-main dengan para pria itu, Jo."
Peringatanku hanya dijawab ayunan tangan olehnya dan bayangannya menghilang di balik gelapnya koridor. Semuanya menjadi hening seketika ketika suara pintu dari arah Joanne pergi menggema samar-samar dari kejauhan. Aku kembali duduk, mengamati mocks-up yang tidak banyak berubah di layar komputerku. Sayangnya ... aku tidak bisa berkonsentrasi.
Aku jatuh cinta padamu, Nona Brown. Aku berharap, suatu hari nanti, kau bisa memaafkan satu rahasia dan satu kesalahanku.
Setelah mengatakan pernyataan memalukan seperti itu, ponsel Tuan Phillip berdering keras dan membuyarkan momen kami yang sedang panas-panasnya. Sesungguhnya, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika ponsel itu tidak berdering. Benda itu cukup menyelamatkan kami-atau setidaknya, aku-dari kecanggungan. Siapa pun yang menelepon Tuan Phillip sepertinya adalah seseorang yang penting. Itu tergambar dari bagaimana ekspresi dan reaksi Tuan Phillip menjawab panggilan telepon itu. Dia bilang dia akan menelepon lagi nanti, lalu membawaku kembali ke arah rumah untuk makan malam bersama.
Dari sekian banyak memori liburanku yang singkat beberapa hari lalu, yang membuatku gila adalah, meski dia adalah pria yang bersikap sopan, Tuan Phillip tidak ragu untuk mengambil tanganku dan menggandengku seperti anak kecil polos selama perjalanan menuju rumah sore setelah ia menyatakan perasaannya padaku. Tentu saja, aku segera melepaskan genggaman tangannya saat mataku menangkap sosok Joanne dan Easton yang sedang membakar ikan dan mempersiapkan makan malam kami. Malam itu Tuan Phillip dan Tuan Winston tidak ikut makan malam. Mereka berada di dalam ruangan Tuan Phillip, sepertinya membicarakan masalah penting, mungkin juga berhubungan dengan telepon yang diterima Tuan Phillip. Saat aku bingung harus memasang wajah seperti apa yang akan aku tunjukkan padanya di pagi hari, Tuan Phillip dengan santainya, bersikap seperti biasa, memberi salam selamat pagi, memakan sarapan bersama-sama sebelum akhirnya berpisah dengan kami setelah kami berada di pelabuhan di pulau utama. Kami berpisah saat itu; Tuan Phillip pergi dengan Tuan Winston, sementara Tuan Easton-lah yang mengantarkan kami hingga ke bandara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Brown (COMPLETED)
RomanceGisela Brown tak pernah menyangka ia akan mengalami hal ini. Ia, seorang wanita berkulit hitam, Afrika-Amerika, sedang melihat seorang pria berkulit putih, tengah menatapnya hangat dan dramatis, dan berkata bahwa pria itu menginginkannya. Tidak, s...