Bangun pagi tidak pernah menjadi masalah bagi Noah. Ia selalu kedinginan setiap pagi dan akan selalu terbangun hanya untuk duduk di depan penghangat atau mandi air hangat. Namun Noah baru terbangun di pukul delapan pagi ini. Terima kasih untuk kehangatan luar biasa yang memanjakannya. Kehangatan itu selalu berasal dari sumber yang sama. Wanita cantik berkulit lembut sewarna tembaga yang sangat kontras dengan warna pucat pasi membosankan miliknya. Rambut panjang Gisela bergelombang hitam kecokelatan, terurai di sekitar lengan Noah. Gisela selalu tertidur seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil yang kedinginan. Kali ini, gadis itu meringkuk ke arahnya, tidak seperti beberapa malam sebelum ini ketika Gisela selalu mengambil ujung ranjang untuk tidur, sejauh mungkin dari dirinya. Posisinya kaku dan wajah tidurnya terlihat tidak nyaman. Tapi lihatlah pagi ini, Gisela meringkuk di depan dada Noah. Menyirami pria itu dengan kehangatan dan wangi tubuhnya. Mendengar suara napas kecilnya di antara samar-samar nyanyian ombak di luar sana.
"Selamat pagi," bisik Noah tak bersuara pada wanita itu.
Berbeda dari Gisela yang terlihat begitu damai, di lain sisi, Noah dengan wajah kacau segera menjauh, sesegera yang ia bisa dan menjauhkan dirinya secepat mungkin dari sang bidadari. Ia bergerak selembut mungkin agar tidak membangunkan Gisela yang terlihat masih sangat menikmati waktu istirahatnya setelah waktu berat yang menimpanya beberapa jam belakangan. Tentu saja, wanita itu baru saja melewati hal terburuk dalam hidupnya sejauh ini. Kehilangan ayah yang ia cintai.
Noah sama sekali tidak bergerak dari tempatnya duduk di atas sofa kecil yang berhadapan dengan ranjang. Ia mengamati wajah Gisela yang begitu polos saat wanita itu tidak membangun tembok di sekitar dirinya. Dan tanpa ia sadari, sebelah tangan Noah menekan dadanya sendiri yang terasa sakit. Sebuah perasaan aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang hanya muncul saat ia berada di sekitar Gisela.
Kendalikan dirimu, Pangeran. Tenangkan dirimu!
Setelah berhasil menekan perasaan campur aduk yang membuatnya resah pagi itu, Noah segera mempersiapkan diri dengan beranjak keluar kamar. Begitu ia membuka pintu, tepat di depannya, Winston sudah menunggu, dengan wajah kakunya yang khas itu.
"Yang Mulia."
"Halo, selamat pagi, Winston. Ada kabar apa hari ini?" tanya Noah sambil tersenyum.
"Mereka sudah mulai bergerak, Yang Mulia. Dan seperti yang Anda perkirakan, permasalahan ini jauh lebih besar daripada kelihatannya."
Noah tidak menjawab. Dia melirik ke balik punggungnya, memastikan pintu kamarnya tertutup dan dia tidak membuat Gisela terbangun dan mendengar percakapan mereka. Kemudian pria itu mengembuskan napas panjang tanpa menunjukkan ekspresi tegang atau apa pun di wajahnya.
"Apa Anda melihat beritanya?" sambung Winston. "Seperti katamu, ledakan di Alcatraz itu memang adalah pemicu. Dan sasaran mereka berikutnya adalah Timur Tengah. Media massa pun mulai bergerak. Semua saluran TV dan internet-"
"Aku sudah mendengar itu semua, Winston."
"Baik," ucap Winston, masih terdengar tidak puas. "Lalu apa rencana Anda, Yang Mulia?"
Mata hijau Noah menatap ke arah laut, sedangkan bibirnya bungkam. Seakan ia sedang sibuk mengamati sesuatu yang jauh di sana.
"Kita berhasil mendapatkan perhatian Belgia. Lalu dengan pernikahan Anda, kita berhasil memperbaiki morale rakyat. Anda dengan sukses mematahkan usaha Klaus, dan Klaus yang gagal kini harus mendekam di neraka." Winston menatap punggung kurus sang pemimpin negara di hadapannya dengan tatapan tajam, sedang kubu jemarinya mengepal keras. "Tapi kita masih harus melakukan sesuatu dengan pion yang kaumiliki, Yang Mulia. Kita tidak pernah tahu kapan mereka akan mulai mengejar kita sebagaimana apa yang sudah mereka lakukan pada Klaus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Brown (COMPLETED)
RomanceGisela Brown tak pernah menyangka ia akan mengalami hal ini. Ia, seorang wanita berkulit hitam, Afrika-Amerika, sedang melihat seorang pria berkulit putih, tengah menatapnya hangat dan dramatis, dan berkata bahwa pria itu menginginkannya. Tidak, s...