Pagi buta. Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Masih sangat gelap. Sekitar empat jam lagi sampai matahari akan mulai bangun. Tidak ada banyak orang yang beraktifitas sepagi ini. Aku menyelinap keluar dari kamarku dan memastikan tidak ada yang mengikutiku keluar. Aku bilang pada Tuan Franceso bahwa jadwalku akan mulai dari pukul tujuh. Dia tidak ada di sekitarku sekarang, jadi aku bisa bernapas lebih lega dari biasanya. Aku akan pergi ke cafe terdekat. Aku adalah wanita Amerika. Aku ingin sarapan donat di pagi hari dan tidak ada pelayan yang berhak mengatakan padaku bahwa aku tidak bisa memilikinya. Aku akan mendapatkan donat di luar kastel dan menghabiskan waktu senggangku di cafe tanpa penjagaan sambil menunggu mentari datang. Seperti dulu. Sebelum aku menjadi wanita nomor satu di negeri ini.
Aku menelepon Joanne yang baru menyantap makan siangnya di New York. Aku bisa mendengar dia tersedak makanannya sendiri saat aku mengatakan memberinya kontak pemilik slot kosong di Via Monte Montenapoleone. Dia bilang aku gila karena memiliki koneksi di sana. Joanne berulang kali bertanya padaku bagaimana aku bisa mendapatkan orang dalam di jalanan yang dipenuhi oleh brand fesyen paling bergengsi di dunia. Andai aku tahu bagaimana, Joanne. Gadis itu juga terdengar melompat dari kursinya dan membuat kegaduhan saat aku bilang bahwa aku hamil.
Tawa bahagia Joanne masih memengaruhi emosiku. Aku masih merasa aku memiliki senyum sampai aku turun ke kota dan menyapa para warga yang ramah. Suasana damai dan dingin, panorama perbukitan landai yang indah, pemukiman yang damai. Liechtenstein memang sangat menenangkan dan selalu terasa sejuk. Seperti nuansa yang selalu menyelimutiku setiap Phillip berada di sekitar. Besar di tempat seperti ini, aku mengerti jika kedamaian adalah segalanya, karena kata itu sudah menjadi bagian dari Liechtenstein. Phillip, Angela dan semuanya akan melakukan apa pun untuk mempertahankan kedamaian yang mereka miliki sejak mereka mengingat nama mereka.
"Kau datang pagi sekali, Gisela!" seru Teresa, seorang wanita yang kira-kira seumur dengan ibuku.
Di bulan madu pertama kami, saat Phillip membawaku berkeliling, pria itu mengenalkan wanita paruh baya ini padaku dengan sebutan nenek seluruh warga kota yang menyediakan selalu menyajikan sarapan favorit semua orang. Dan dibandingkan Phillip yang memilih daging, keju, pretzel dan sebagainya, aku menjadi penggemar berat donat buatan Teresa begitu aku merasakannya pertama kali di mulutku.
"Pangeran sedang dinas, seperti biasa. Jadi tidak ada yang memaksaku memakan buah dan sayuran di kastel."
Teresa tertawa, dengan tawa yang paling hangat di musim dingin yang membekukan ini. "Tiga donat hangat dan satu cangkir kopi susu dengan dua sendok gula?"
"Ya!"
"Kau mungkin harus menunggu agak lama karena aku bahkan belum buka, Gisela."
"Tentu, aku akan menunggu, Teresa."
Teresa mengangguk puas, lalu menunjuk ke arah pintu masuk. "Apa Anda datang dengan Yang Mulia Putri, Tuan?"
Tuan?! Apa Phillip ...?!
Aku berbalik untuk menemukan Tuan Franceso berdiri di sana, memegang topi panamanya di dada dan tersenyum dengan wajah mengantuk.
"Ya, Nyonya," jawab Tuan Franceso seraya melangkah masuk ke dalam restoran. "Bisakah kau menyamakan pesananku dengan Nyonya ini?" tanyanya sambil menunjukku. "Tapi tolong ganti kopinya dengan espreso."
"Apa kalian bersedia menunggu agak lama?"
Tuan Franceso mengangguk. "Sepanjang kau membiarkanku duduk bersama Nyonya cantik ini, aku bisa menunggu selama itu dibutuhkan."
Oh, tidak. Kenapa dia ada di sini? Aku tidak bisa mengatakan apa pun yang bisa menakuti Teresa yang malang karena harus menerima tamu seorang paling berbahaya di Italia kini berada di restoran kecilnya yang belum buka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Brown (COMPLETED)
RomanceGisela Brown tak pernah menyangka ia akan mengalami hal ini. Ia, seorang wanita berkulit hitam, Afrika-Amerika, sedang melihat seorang pria berkulit putih, tengah menatapnya hangat dan dramatis, dan berkata bahwa pria itu menginginkannya. Tidak, s...