2 - Mama

2.6K 353 7
                                        

"Nona, Nyonya Brown tidak ada di mana pun!"

Sharon, seorang wanita dari Managua yang kupekerjakan untuk merawat Mama, panik bukan main ketika aku baru saja memasuki rumah dengan terengah-engah. Matanya sudah berair, beberapa kali menjelaskan dalam bahasa Latinnya padaku. Namun, aku tidak bisa mendengar apa pun. Mataku mencari sosok tubuh wanita yang biasanya duduk di sofa ruang tamu sambil menonton telenovela dengan Sharon. Sofa itu kosong, dapur, kamar, toilet, semuanya kosong.

Oh, tidak. Tidak, tidak. Mama!

"Maafkan aku, Nona! Kumohon maafkan aku! Biar aku mencarinya—"

"T-tunggu. Tenangkan dirimu, Sharon." Tenangkan dirimu juga. Kau mulai terbata-bata. Sungguh, Gisela. Demi apa pun, kau sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk berhenti bicara terbata-bata seperti itu sejak masa sekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Aku panik! "K-kita bisa mencarinya bersama-sama, ok? Kita akan menemukannya. Jadi, berhentilah menangis, ok?" ucapku pada Sharon—atau pada diriku sendiri—sembari mengusap lengan wanita paruh baya itu, semoga cukup untuk menenangkannya, meski aku tidak yakin.

Ini tidak baik. Sama sekali buruk. Ke mana aku harus mencari jika Mama benar-benar pergi dari rumah? Dia tidak meninggalkan catatan atau apa pun? Jelas tidak. Kenapa Mama harus meninggalkan catatan, memangnya?

"Aku hanya keluar sebentar untuk membeli tepung dan bahan masak lainnya," jelas Sharon sesenggukan dan mengangguk kecil. "Nyonya sedang tidur saat aku pergi. Saat aku datang, pintu sudah dalam keadaan tidak terkunci. Aku tidak tahu kapan Nyonya pergi, tapi aku bersumpah, aku tidak pergi lama! Aku sudah memanggil polisi, Nona--," ucap wanita itu sambil sesekali mengatur napasnya yang terdengar makin berat.

"Kerja bagus, Sharon. Kalau begitu, kau tunggu di sini sampai polisi datang. Aku akan mencoba mencari sampai beberapa blok dari sini. Sementara itu, cobalah cari sekali lagi di seluruh rumah."

"Baik, Nona!"

Kenapa juga Mama keluyuran di akhir musim gugur seperti ini? Bahkan saat aku melangkah keluar, napasku begitu saja menjadi asap. Apakah Mama memakai baju yang cukup hangat? Aku harus cepat menemukannya sebelum hal buruk terjadi. Setengah berlari, dengan mengedarkan seluruh pandangan ke sekitar, aku menghubungi Joanne, salah satu rekan desainerku, satu-satunya sahabat yang kumiliki saat ini. Aku bilang pada gadis itu bahwa aku akan terlambat untuk mendatanginya sore ini, dan mengganti waktu janjian kami sampai sore nanti untuk mempersiapkan segala yang kami butuhkan untuk Milan Fashion Week, yang mana itu sudah di depan mata.

"Kau ... baik-baik saja, Sel?" tanya Joanne di seberang sambungan telepon.

"Aku baik-baik saja. Baiklah, bye."

Jika aku bilang Mamaku hilang, Joanne akan melarikan pantatnya kemari dan menggeledah seluruh rumah di New York seperti orang gila.

Aku hampir berlari setiap menemukan sosok wanita tua berkulit hitam, dan berujung dengan kekecewaan saat aku tahu, itu bukan Mama. Aku sudah berlari ke sana-kemari, aku memasuki beberapa tempat yang kiranya akan didatangi oleh Mama. Toko kue, pelataran gereja, hingga taman kota. Di udara dingin ini, aku bisa merasakan lututku mulai gemetar, namun itu tak menghentikan langkahku. Tidak sebelum aku menemukan Mama. Oh, Tuhan. Kota ini bukan kota kecil. Di mana kiranya aku bisa menemukan Mama?

"Oh, tidak... tidak...."

Jangan menangis, Gisela. Aku sudah berjanji untuk menjadi anak Papa yang paling bahagia. Kau tidak akan menangis, anak cengeng! Lari, lagi! Cari, lagi! Berpikirlah rasional, pikirkan lagi di mana kira-kira Mama akan pergi.

"Tapi Mama tak ada di mana pun ...!" Mengakhiri debat dengan diriku sendiri, aku mengatur napas. Tenggorokanku rasanya sudah terbakar. Kedua tanganku bertumpu pada kedua lutut, memaksa mereka berhenti gemetaran. "K-ke mana aku harus mencari? Ya Tuhan. Ke mana .... Pikirkan lagi, Gisela!"

Miss Brown (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang