DUA PULUH TIGA

34 2 0
                                    

Sepertinya aku berada di tempat asing, yang menyenangkan.

***

Hari ini mood-ku sudah hancur hanya karena ucapan Papa tadi pagi, atau lebih tepatnya keputusan Papa. Saat upacara bendera pun aku tidak terlalu khidmat mengikutinya dan bahkan saat amanat di sampaikan oleh Pembina aku tidak terlalu mendengarkannya. Pikiranku terlalu terpaku pada keputusan seorang Samuel Aurega yang tidak bisa di ganggu gugat.

Pelajaran matematika pagi ini pun tidak terlalu kuperhatikan, padahal biasanya aku sangat bersemangat dengan semua yang diterangkan Bu Lusi di depan kelas dan ketika Bu Lusi memberikan tugas.

"Lo kenapa, Ri? Dari tadi pagi masem aja tuh muka." Tanya Bintang saat aku sedang mencatat penjelasan materi yang di tuliskan Bu Lusi di papan tulis.

"Nggak papa." Mataku masih hanya bergerak menatap buku catatanku dan papan tulis.

"Lo masih takut sama yang kemaren?"

Kini aku menoleh menatap Bintang yang menulis beberapa rumus dan penjelasannya di buku catatan milik cewek itu. "Udah nggak terlalu, sih. Ya kadang masih ngeri waktu ngebayanginnya."

"Yaudah sih, lupain aja. Entar lo jantungan kalo inget lagi."

Aku tak menggubris ucapan Bintang dan melanjutkan kegiatanku.

"Eh tapi lo utang penjelasan ke gue, kemaren itu siapa?"

Aku mengernyit. "Siapa yang siapa?"

Bintang berdecak. "Yang kemaren ikut lo ke dufan."

"Kan udah aku kenalin."

"Maksudnya kok kalian bisa kesana barengan gitu?"

"Adeknya Radit ngajak aku."

Bintang menoleh kepadaku dengan kerutan di dahi. "Kok bisa?"

"Ya bisa lah." Sebenarnya aku malas menjelaskannya, tapi Bintang pasti tidak berhenti mengoceh kalau aku tidak menjelaskannya.

Bunyi bel istirahat memenuhi seluruh sekolah dan tepat saat itu juga Bu Lusi mengakhiri pelajaran hari ini kemudian keluar kelas meninggalkan keramaian di dalam kelas yang semakin terdengar. Sesaat kemudian semua penghuni kelas sudah membawa diri mereka keluar, hanya beberapa anak yang terkategorikan pintar saja yang tinggal.

"Lo jelasin ke gue." Dan yang satu ini tidak masuk ke dalam kategori pintar, tapi kepo.

Aku mendesah kasar. "Aku udah beberapa hari kenal sama keluarganya Radit—"

"What! Maksud lo dijodohin gitu?" pekik Bintang.

"Apaan sih! Jangan teriak-teriak, Bi. Lagian siapa juga yang di jodohin, dengerin dulu!" aku langsung memukul bahu Bintang. Tatapan orang-orang di kelas itu sudah tertuju pada kami.

Aku menceritakan kronologis cerita bagaimana aku bisa akrab dengan keluarga Radit. Dan sesekali membuat Bintang mengernyit. Aku hanya menceritakan sampai dimana malam itu aku pulang dari rumah Bunda di hari pertama aku bertamu di rumah mereka.

"Tapi kok lo bisa secepet itu akrab sama mereka?"

Aku hanya mengendikkan bahu acuh mendengar pertanyaan Bintang. Sampai sekarang pun aku masih tidak mengerti bagaimana aku bisa secepat itu akrab dengan mereka. Apa memang mereka menerima semua teman Radit seperti mereka menerimaku, menngingat Adnan dan Valdo juga akrab dengan mereka.

"Yaudah deh, gue mau ke kantin dulu, laper." Aku mengangguk.

Aku mengambil novel dari dalam laci lalu membacanya ketika Bintang pergi. Dan baru satu paragraf aku mencerna kata-kata di sana, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sampingku tepatnya di bangku Bintang. Sontak saja aku menoleh dan mendapati senyuman manis dari si pemilik wajah.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang