Kamu seperti hujan. Sulit kugenggam, namun terasa kehadirannya.
***
Acha menyeretku ke sebuah ruangan berpintu hitam. Sebelum ruangan itu terbuka pun aku sudah tahu milik siapa. Dan setelah pintu hitam itu terbuka lebar menampakkan kekacauan yang mencengangkan. Siapapun yang melihatnya memilih untuk keluar dari pada harus berada di dalam kamar berantakan seperti kapal pecah.
“Astaga, Abang jorok banget, sih. Berantakan banget lagi kamarnya.” Keluh Acha. Gadis itu sudah akan keluar, tapi aku menahannya.
“Biasanya siapa yang beresin, Cha?”
Acha menoleh menatapku. “Biasa dibiarin gitu aja, kalo nggak ya Bunda.”Aku yang melihatnya saja sudah akan pingsan, bagaimana Bunda yang hampir setiap hari mendapat pemandangan tidak mengenakkan seperti ini? Bagaimana Bunda bisa menghadapi anaknya yang satu itu?
Aku memang sering membereskan kamar Bintang, tapi tidak sampai seberantakan ini. Bintang tetap menjaga wangi kamar, kebersihan lemari, dan menutup pintu kamar mandi agar bau tidak sedapnya tidak menguar kedalam kamar. Sementara ini, di dalam kamar Radit memang pintu kamar mandi tertutup rapat dan tidak ada bau tidak sedap bertanda kutip, tapi bau yang menguar di dalam ruangan ini sama sekali tidak ada wangi-wanginya. Banyak sampah snack berserakan, baju pun tak tertata di dalam lemari, dan sepatu terbuang sembarang ke segala arah. Belum lagi sprei tempat tidur yang mencuat kemana-mana, guling pun seolah nyaman berguling di atas lantai, bantal yang letaknya tidak beraturan. Huh, aku akan lelah hari ini.
“Ayo, Cha.” Ajakku pada Acha yang masih saja memperhatikan sekeliling kamar yang mirip kandang sapi itu. Mungkin gadis itu binging harus memulai dari mana, sama seperti aku.
“Kamu ambilin bajunya masukin keranjang biar kakak yang beresin sampahnya.” Komandoku pada Acha.
“Serius nggak papa, deh, kak. Kita keluar aja terus panggil petugas kebersihan.”
Aku menoleh menatap Acha yang juga menatapku. “Cha, Bunda udah nyuruh kita, kita nggak bisa seenaknya lari dari tanggung jawab gitu aja. Lagian kalo petugas kebersihannya boongan gimana? Nanti ada yang ilang kamu mau?”
Acha berdecak kesal. “Tapi ini berantakan banget, Kak….”
“Makanya di beresin. Udah, ayo!”
Aku mengambil plastik yang lumayan besar di lantai dan mulai memasukkan satu per satu sampah yang bertebaran di lantai. Dari sudut mataku pun terlihat Acha mulai mengambil pakaian yang terserak sembarangan dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian.“Acha.”
“Iya?”
“Ini sprei-nya kakak ganti nggak papa? Udah jorok gini.”
“Nggak papa. Kakak ambil aja sprei-nya di dalem lemari yang paling bawah.”
Kulepas sprei abu-abu yang terpasang tak teratur di tempat tidur dan memasukkannya ke dalam keranjang yang sama dengan yang digunakan Acha untuk menampung pakaian. Lalu aku berjalan kearah lemari dan membuka kabinet yang paling bawah. Kuambil sprei warna hitam dan memasangkannya ke tempat tidur.
Setelah selesai kutepukkan kedua tanganku. “Acha ada vacum cleaner?”
Acha yang sedang membereskan buku-buku di atas meja belajar menoleh. “Ada. Bentar Acha ambilin.”
Acha keluar dari dalam kamar dan meninggalkanku sendiri di dalam kamar yang luasnya sedikit lebih kecil dari luas kamarku. Kuedarkan mataku dan berhenti pada dinding yang terdapat mural wajah dua orang yang tak lagi asing di mataku. Andrew Taggart dan Alex Pall. Dua personil The Chainsmokers.
KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...