LIMA PULUH ENAM

29 1 0
                                    

Bibirku membisu, ribuan kalimat yang sudah terkumpul dalam memori otakku tiba-tiba menghilang tanpa jejak sama sekali. Aku tidak mengerti dengan keadaan yang sengaja atau tidak kuhadapi saat ini. Semuanya tidak seperti yang kuduga sebelumnya. Bahkan kebahagiaan yang selama beberapa hari ini tercipta, luruh dalam kebingungan yang tak terduga.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka, memperlihatkan Mama dengan jas hitam dan tasnya mulai memasuki ruangan. Mulanya Mama terkejut melihatku berada di dalam kamarnya. Mama meletakkan tasnya diatas meja rias setelah menutup rapat pintu.

“Tumben kamu masuk kamar Mama,” ucapnya seraya melepas jas yang dikenakannya. Aku yakin Mama baru saja pulang dari kantor.

Mungkin Mama tidak menyadari apa yang sedang terjadi dan sesuatu apa yang sedang kufikirkan sekarang. Karena kotak tosca itu sudah kukembalikan ke tempatnya semula.

Mataku menerawang tanpa batas ke depan. Masih tidak percaya dengan apa yang ada di depanku. Seburuk-buruknya dunia yang pernah kualami, tidak ada yang seperti ini. Semua ini terasa seperti pisau yang tiba-tiba menikamku tepat di jantung, sehingga semua waktu terhenti seketika bagiku.

Bahkan jika dunia punya hal terindah lain, tak akan pernah aku mengubah keinginan agar semua ini tak terjadi. Hanya itu saja. Mungkin juga ada satu hal yang belum kutau tentang semua ini. Tentang bagaimana ini semua bisa terjadi. Apakah mungkin penyebabnya adalah aku?

“Kamu kenapa ngelamun?” suara Mama mengagetkanku. Aku berjengit di tempat, masih tak ingin fokus pada kenyataan. Rasanya aku ingin kembali ke tidur panjangku dan mendekap dunia mimpi yang begitu indah untuk kutinggalkan. Terbangun dari koma bukan satu-satunya hal terindah atau mukjizat dari Tuhan untukku. Mungkin jika Tuhan memberi kenyataan lain yang lebih baik untuk kuterima.

“Ma…” akhirnya aku berani mengucapkan sesuatu.

Mama sudah duduk di sampingku sembari mengusap kepalaku lembut. Mungkin inilah yang kurindukan selama ini. Usapannya sangat menenangkan dan hangat. “Kenapa? Maaf, ya, tadi Mama ke kantor sebentar. Soalnya klien datangnya mendadak.”

Itu jawaban yang kuinginkan sebelumnya. Namun sekarang berbeda, ada sesuatu yang lebih penting untuk kuketahui. “Papa kemana?”

Mama diam beberapa saat. Aku bisa melihat kebingungan dari matanya yang menatap apapun kecuali mataku. Terkadang Mama menunduk atau mengelilingkan mata ke sekitar. Aku tau ada sesuatu yang disembunyikannya.

“Ma…” panggilku mengikuti matanya. Agar aku selalu bisa melihat ada apa disana.

“Kan Mama udah bilang, Papa lagi keluar kota,” ucap Mama seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju lemari pakaian. Aku tau Mama berusaha berbohong padaku.

“Mama bohong dan aku tau.”
Mama tetap berusaha menutupinya dan berusaha agar aku tidak mengetahuinya. Dia mengambil beberapa pakaian terlipat dari dalam lemari kemudian dipasangkan penggantung untuk digantungkannya kembali di dalam lemari.

“Mama nggak bohong!”

Aku semakin muak dengan semua ini. Mama tetap berusaha menutupi hal yang sudah kuketahui. Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari Mama. Apa sulitnya mengatakan ‘ya’ lalu menjelaskan segalanya padaku. Jika saja aku punya seribu kekuatan, akan kubuat Mama membongkar semuanya tanpa ada satu hal pun tertinggal.

Aku bangkit membawa kotak tosca berisi 3 amplop yang tadi sudah kubaca. Dengan beribu rasa tak karuan, aku berjalan ke arah Mama lalu memperlihatkan kotak itu tepat di depan wajah Mama, sampai Mama berhenti di aktivitasnya dan terlihat terkejut melihat kotak itu ada di tanganku.

Keterkejutan Mama tak seberapa lama karena akhirnya Mama melanjutkan menggantungkan pakaian. Aku terheran ketika justru Mama terlihat pasrah dengan keadaan. Kuturunkan tanganku yang terasa tidak sopan berada tepat di depan wajah Mama.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang