EPILOG

42 3 0
                                    

Saat terindah dalam hidupmu adalah ketika kamu bisa mensyukuri dan menikmatinya.
-Radit-

***

Udara dingin tak dapat menyaingi gemerlap lampu kota London. Dengan bintang-bintang yang tetap terlihat meski samar. Mentari sudah mencapai peraduan beberapa saat lalu. Dan sekarang saatnya bulan menggantikan perannya. Sinarnya begitu terang malam ini. Kurasa ia menertawakanku yang tengah larut dalam kerinduan.

Menyesap kopi di bawah langit kota London di musim dingin adalah impianku. Dan sekarang, impian itu sudah menjadi nyata, serta berubah menjadi kebiasaan. Berhenti dan mengamati kesibukan setiap orang menjadi hobiku di malam hari selain mengerjakan tugas dari dosen. Atau sekedar menikmati hujan yang bisa menenangkan hatiku. Menjadi penawar rindu meski hanya sementara.

Buku berwarna merah muda di genggamanku sudah terisi separuhnya. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak membukanya sehari saja, tidak bisa meninggalkannya sedetik saja. Aku tidak mengerti lagi bagaimana cara mengurai rindu ini kecuali lewat catatan kecil atau pesan singkat yang kadang baru akan terbalas beberapa jam setelahnya.

Untukku sekarang, Mama adalah seseorang yang sangat kusayangi. Prioritas bahagiaku sekarang. Darinya aku belajar banyak. Namun sekarang, aku memiliki satu orang lagi yang menjadi prioritasku. Seseorang yang punya tempat sendiri di hatiku, seseorang yang begitu mendukung setiap keputusanku, seseorang yang tidak pernah membuatku tenang, seseorang yang telah lama berada di sisiku meski sekarang ia jauh disana. Terpisah jarak, berbeda benua.

Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya. Tuhan selalu memiliki alasan melakukan sesuatu. Dan sekarang aku tau, mengapa Tuhan mempertemukan kami. Karena Tuhan ingin kami belajar saling menjaga dan bertahan. Bagaimana hubungan ini akan menjadi sebuah ikatan yang lebih atau bagaimana cara mempertahankannya agar tetap utuh. Tuhan ingin melihat seberapa erat ikatan yang telah kami jalin.

Sudah 3 tahun aku tinggal di London, tanpa sedetik pun kembali ke negara asalku. Aku senang disini, namun akan lebih menyenangkan jika ada dia juga disini. Aku bahagia bisa bersama Mama menatap senja di London, namun menatap bintang bersamanya juga kurindukan.
Di tepi tebing tempat biasa kami duduk bersama, menatap indahnya kota Jakarta dari ketinggian. Aku merindukan semuanya. Kata rindu itu tidak bisa dileburkan dalam kalimat biasa, bukan seperti ketika aku menuliskannya di buku ini. Semua terasa lebih rumit, seolah aku berjalan di gua tanpa ujung.

Lalu lalang kesibukan London tidak mengganggu fikiranku sama sekali. Aku terpaku pada setiap kalimat yang kutuliskan di buku itu. Setiap hurufnya menyimpan rindu yang begitu ingin kuleburkan di samudera. Jika saja ada burung merpati yang mau mengantarkannya. Atau setidaknya bintang akan mengirimnya kepada dia yang jauh disana. Aku tau, hal yang sama selalu dirasakannya, namun mengapa rasa gelisah dari rindu ini tak pernah hilang meski setiap detik kucoba menghapusnya?

Akan kupastikan saja suatu saat jika aku bertemu dengannya, segera kulebur rasa rindu dengan menghirup aroma tubuhnya. Seluruhnya. Air mataku tiba-tiba menetes tepat di huruf terakhir yang kutulis. Tetesan itu berbaur dengan udara dingin kota London sebelum mendarat diatas kertas putih. Perlahan, tetesan itu semakin deras. Sebagai tanda tak mampunya aku menahan rindu ini. Sebagai tanda aku ingin berjumpa saat ini.

Dikeramaian, tak ada yang menyadari isakku. Kuredam segalanya dalam diam. Hanya ada air yang mengalir keluar menuntaskan sepi.

Sampai kurasa puas, kupungut semua barang-barangku untuk kumasukkan ke dalam tas. Lalu menyesap sisa kopi di dalam gelas. Detik berikutnya aku bangkit, berbalik, mendorong kursi untuk melangkah pulang. Malam semakin larut, bahkan Mama sudah mengirim puluhan pesan padaku.

Berjalan di kota indah ini tak akan menjadi masalah. Perjalanan jauh akan terasa dekat. Tapi tidak untukku saat ini. Satu menit saja terasa seperti satu jam. Apalagi untuk menunggu satu tahun lagi saat aku akan pulang ke negara asal. Mengatur cabang perusahaan di Jakarta, juga bertemu kembali dengannya.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang