DUA PULUH SATU

49 5 0
                                    

Chapter 21

Setelah kepulangan Bintang tadi Acha menyuruhku istirahat. Kondisiku sudah sedikit membaik meskipun belum sepenuhnya. Acha sendiri keluar untuk makan siang. Tadi sebenarnya Acha menyuruhku untuk makan siang, tapi karena perutku masih terasa melilit aku menolaknya. Gadis itu masih saja memaksaku dan akhirnya aku hanya makan tiga sendok dari piring yang dibawakan Acha ke dalam kamarnya.

Mataku terpejam mengikuti alur mimpi yang entah membawaku kemana. Setiap tidur aku selalu bermimpi baik, jarang sekali aku bermimpi buruk. Sesulit apapun masalah yang sedang kuhadapi mimpiku jarang hancur. Semua terlihat sempurna di mimpiku, tapi ketika bangun dari pejaman itu aku harus menghadapi dunia yang sebenarnya.

Mataku mengerjap mencoba mengembalikan kesadaran dan aku mencoba bangkit dari posisiku. Kupandang jam putih milik Acha, aku tertidur sekitar satu jam. Tidak kutemukan Acha di dalam kamar ini. Aku turun dari tempat tidur untuk membasuh wajahku yang lengket. Setelah ritual itu selesai aku keluar dari dalam kamar Acha dan turun kebawah. Tidak ada Acha disana, tapi ada seorang cowok sedang menonton televisi dengan remot di tangannya.

Kepalaku menoleh ke kanan kiri untuk mencari Acha, tapi tetap tidak ada. Dengan ragu aku mendekat ke tempat duduk Radit dan menemukan dia sedang memasang tampang serius di depan televisi.

"Acha mana?"

Cowok itu menoleh dan mata kami tak sengaja bertemu sejenak sebelum aku memutuskannya. Oh, tidak, kenapa aku salah tingkah begini hanya karena di tatap olehnya.

"Pergi." Jawabnya.

Kepalaku langsung menoleh lagi menatapnya dan sekarang matanya sudah kembali terfokus pada televisi. "Kemana?"

Cowok itu tidak menjawab dan hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Matanya kembali tidak lepas dari layar segi empat di depannya yang menampilkan acara—

Tunggu, itu film Ghost Storm. Bagaimana bisa ada film itu siang-siang begini. Mataku menangkap kotak DVD player yang menyala.

Hey, aku menyukai film itu dan aku ingin sekali menontonnya saat ini. Tapi bagaimana? Tidak mungkin aku duduk di samping Radit. Aku juga tidak membawa laptop.

Mataku masih belum bisa lepas dari putaran film di layar televisi itu. Tapi aku tidak bisa menontonnya sambil berdiri seperti ini, bukan karena nanti aku takut jika wajah menyeramkan dari film itu keluar, tapi menonton sambil berdiri itu tidak menyenangkan. Dengan langkah pelan aku meninggalkan ruang tengah sambil kepalaku tetap menghadap ke belakang untuk melihat adegan di film itu.

"Nonton itu sambil duduk."

Aku tersentak. Seperitnya Radit menyadari tingkah konyolku. Mataku bergerak tidak pasti dan gigiku menggigit bibir bawahku sangat kuat sampai...

"Awwwh..." tanganku membekap mulutku yang kesakitan akibat gigitanku sendiri. Dapat kulihat Radit memandangku heran. Aku langsung menggeleng lalu berjalan menaiki tangga.

"Nggak jadi nonton?" telingaku sepertinya tidak sedang sakit jadi aku bisa mendengar dengan baik kalau Radit bertanya. Kepadaku tentunya, tidak ada orang lain disini.

"Kalo mau nonton duduk." Ucapnya lagi.

Wajahku langsung sumringah dengan senyum yang sangat lebar. Tadinya aku takut untuk duduk di sofa sambil menonton itu karena ada Radit. Takutnya nanti kalau dia marah, tapi malah dia yang menyuruhku duduk.

Aku mengambil duduk di sofa yang sama dengan Radit karena memang di ruang tengah hanya ada satu sofa. Wajahku masih berseri saat duduk di ujung sofa dan berubah ketika aku sudah fokus pada film di depanku yang menampilkan adegan asap yang membunuh orang. Untung saja itu hanya film, kalau nyata aku bisa lebih dulu mati sebelum asap itu membunuhku.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang