DUA PULUH LIMA

26 1 0
                                    

Menjaga kepercayaan itu seperti menjaga nyawa. Bagiku, mati lebih baik daripada kehilangan kepercayaan seseorang yang kusayangi.

***

Seperti yang kuduga sebelumnya, sampai di kelas Bintang langsung memberiku banyak pertanyaan. Dan hanya kujawab seadanya, sama seperti apa yang kulakukan sebelumnya sehingga membuatku terlambat masuk ke dalam kelas. Tapi tidak dibagian Radit mengobati lukaku. Aku bisa menjadi bulan-bulanan Bintang kalau saja cewek itu tau.

Saat sampai di kelas tadi aku tidak melihat ada guru yang mengajar. Kata Bintang gurunya sedang tidak masuk karena sakit. Sebagian aku bersyukur, kalau ada pelajaran saat ini pasti aku tidak bisa fokus pada pelajaran karena degupan jantungku yang belum bisa terkontrol.

Istirahat kedua aku tidak keluar kelas begitu juga dengan Bintang. Cewek itu memainkan ponsel sementara aku membaca novel yang kupinjam dari Elang. Kemarin aku sudah membaca sebagian isinya dan tinggal separuh lagi aku sudah bisa menghabiskan novel ini.

Pulang sekolah aku langsung pulang dan tidak pergi kemana-mana. Aku hanya ingin berdiam diri di dalam kamar dan menghindar dari apapun sejenak.

●●●

Pagi ini aku bangun tidak mendapati Mama dan Papa di meja makan. Mungkin mereka sudah pergi. Aku bersyukur kalau memang mereka sudah pergi, setidaknya aku tidak harus membahas masalah kepergianku ke London. Sambil aku memikirkan cara untuk menolak atau membatalkan kepergianku.

Pulang sekolah ini rencananya aku akan pergi ke rumah Bunda. Sudah dua hari aku tidak mengunjungi Bunda dan aku merindukannya.

“Ri, pulang ini ke rumah gue, ya?” ujar Bintang saat kami sedang mencatat materi biologi di jam pelajaran terakhir.

Aku tidak menoleh, tapi menjawab, “Nggak bisa, Bi. Aku mau ke rumah Bunda abis ini.”

Bintang menoleh padaku. “Yaudah, gue ikut, ya?”

“Yaudah.”

Setelah bel tanda pulang berbunyi aku dan Bintang langsung menaiki motorku karena tadi pagi Bintang di antar oleh supirnya. Beberapa saat kemudian kami sampai di rumah Bunda. Bintang lebih dulu turun lalu setelah aku turun cewek itu mengikuti langkahku kearah pintu.
Kuketuk tiga kali pintu jati besar di hadapanku sambil mengucapkan salam. “Assalamualaikum.”

Tak lama setelahnya keluar Bunda sedang memakai celemek hitam. “Waalaikumsalam.”

“Bunda…” aku berangsur memeluk Bunda.

“Eh, Bunda kotor loh ini.” tangan Bunda tidak membalas pelukanku dan malah menjauh membuatku melepas pelukan.

“Ini siapa?” tanya Bunda dengan mata mengarah pada Bintang yang berada di belakangku. Kulihat Bintang tersenyum canggung.

“Ini temen Mentari, Bun. Namanya Bintang.”

“Oh, ayo masuk.” Bunda menepi dari tengah pintu memberi kami jalan masuk.

“Bunda mau lanjut masak dulu, ya.” Bunda berjalan kearah dapur, tapi langsung kutahan dengan suaraku.
“Acha diatas, Bun?” Bunda berbalik menatapku.

“Iya, naik aja kalian.” Lalu Bunda melanjutkan langkahnya.

“Ayo, Bi.” Aku mengajak Bintang untuk ke kamar Acha.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang