Chapter 16
I'm waiting for something that I can't have
-Mentari
"Bunda marah sama Kakak, ya?"
Acha terlihat terkejut dengan pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Dahinya menampakkan sedikit kerutan halus dan matanya tampak memancarkan kebingungan. Aku masih diam, ingin mendengar jawabannya.
"Kok Kak Mentari nanya gitu?" tanya Acha balik. Aku justru juga bingung kenapa aku bertanya seperti itu kepada Acha.
"Sikap Bunda kayak berubah ke Kakak." Kualihkan mataku dari Acha yang masih saja menatapku. Aku menatap apapun disana sambil mencari alasan lain yang terlihat lebih baik dari alasan anak kecil yang kulontarkan tadi.
"Emang Bunda gimana?"
"Bunda kayak berusaha jaga jarak gitu sama Kakak. Kakak juga nggak tau itu nyata atau cuma perasaan Kakak aja."
"Aku juga nggak terlalu merhatiin sikap Bunda, sih. Tapi semoga itu cuma perasaan Kakak aja." Ucapan itu bagai doa ditelingaku yang kuaminkan dalam hati.
Semoga saja.
Tapi hatiku masih gelisah, bagaimana kalau ternyata semua itu nyata? Bagaimana kalau memang dengan sengaja Bunda menjaga jaraknya denganku saat ini dan suatu hari nanti akan berusaha menjauh dariku. Tapi aku tidak tahu alasan apa yang mendorong Bunda melakukannya dan alasan apa yang membuatku bisa berfikir seperti ini.
Semuanya rumit.
"Nggak usah terlalu dipikirin, Kak. Bunda nggak akan menjauh, Bunda sayang sama Kak Mentari. Tenang aja, percaya sama Acha." Acha memukul-mukul dadanya percaya diri dan membuatku mengulas senyum untuknya.
Kalimat itu memang mencoba menenangkanku, tapi semuanya berbanding terbalik dariku yang memasang senyum manis itu untuk mencoba meyakinkan gadis itu bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya fikiranku masih melayang jauh pada sebuah kejadian yang memperlihatkan Bunda menjauh dan meninggalkanku. Aku masih terlalu takut untuk mengalaminya bahkan memikirkannya saja aku tidak ingin. Tapi setiap aku mengingat sikap Bunda yang menurutku tidak seperti biasanya membuat semua fikiran tanpa akar yang jelas itu melintas begitu saja di kepalaku, tanpa aku bisa menghindarinya.
"Kalo ada masalah Kakak bisa cerita ke Acha, Acha dengerin kok." Ucapan itu membuatku menoleh menatap gadis dengan pipi tembam itu. "Kan tadi Acha udah cerita ke Kakak."
Aku menghembuskan nafasku yang terasa berat berharap semua masalah bisa hilang bersama udara yang keluar. "Kemarin waktu Bunda ke rumah Kakak, Bunda ketemu sama Mama."
"Yang pas Kak Mentari sakit?" aku mengangguk, entah dari mana Acha tau, mungkin dari Bunda.
"Sore itu waktu Abang kamu jemput Bunda, Mama pulang dan nyuruh Kakak buru-buru siap-siap buat ketemu sama klien Papa, tapi Bunda bilang kalo Kakak lagi sakit dan setelah itu Kakak nggak tau apa yang terjadi. Tau-tau pas Kakak turun, Bunda sama Abang kamu udah di luar pintu dan yang Kakak dengar Mama ngomongnya kayak ngusir mereka."
"Kakak fikir Bunda marah sama semua itu dengan ngubah sikapnya ke Kakak dan kemudian dia menjauh dari Kakak-"
"Kakak nggak boleh ngomong gitu, Kakak harus optimis kalo itu cuma perasaan Kakak aja."
Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Acha yang terlampau menenangkan itu. Semoga saja Acha benar, itu hanya perasaanku saja.
"Kakak bawa baju berapa?" tangan Acha sudah meraih ranselku dan membukanya untuk melihat isinya. "Yaaah...kok bawanya dikit, sih?"

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...