EMPAT PULUH

27 1 0
                                    

Dag dig dug dueeeerrrr...
Liatin doi aja kayak liatin kembang api tahun baru.

***

Selasa ini tidak ada yang istimewa, aku masih kesal dengan kejadian kemarin. Tidak ada kejadian baik di hari kemarin dan semoga saja tidak untuk hari ini. Kekesalanku belum pudar namun sudah di tambah ketika di pagi harinya aku mendapatkan tamu bulanan dan membuat perutku terasa sakit. Entah efek pms atau masih kesal karena kemarin hari ini aku merasa tidak bersemangat sama sekali. Semua yang menggangguku kuacuhkan, bahkan Bi Yun yang tadi pagi bertanya padaku perihal sarapan apa yang kuinginkan pun kubentak.

“Aku nggak sarapan, langsung berangkat.” Kataku tadi pagi yang membuat Bi Yun terperangah dengan sikapku yang tak biasa. Entahlah, aku hanya merasa tidak ingin diganggu saja saat ini.

Lalu teman-temanku yang menyapa pagi ini hanya kuberi senyuman tipis. Bintang sendiri ku abaikan ketika gadis itu memberi sapaan paginya padaku. Aku masih kesal padanya. Bukan hanya membuatku di hukum dan tidak mengikuti pelajaran biologi, gadis itu juga bertanggung jawab atas waktuku yang terbuang sia-sia karena menunggu spesies seperti Radit.

Sampai jam istirahat pertama aku sama sekali tidak memiliki semangat seperti hari biasanya. Pelajaran pertama dan seterusnya tidak terlalu kuperhatikan, masa bodoh dengan akibatnya nanti. Yang jelas saat ini aku hanya ingin berada di dalam kamar lalu tidur berguling di atas kasur.

“Lo masih marah, ya?” tanya Bintang saat aku menjatuhkan kepala diatas lipatan tangan.
Aku tak menjawab. Menutup mata saat posisiku terasa nyaman. “Kan tadi malem gue cuma becanda, Ri. Terus masalah lo nunggu si Radit, mana gue tau kalo Radit ngerjain lo.”

Aku masih tak menjawab kalimat penjelasan itu meski mendengarnya dengan jelas. Rasa sakit di perut menambah kekesalanku. Sakit ini tidak bisa hilang begitu saja tentunya, tapi bagaimana cara menghilangkannya. Bintang pasti juga tahu kalau seorang perempuan yang mendapat tamu bulanan itu lebih garang dari biasanya. Dan aku bisa berubah menjadi seperti itu kalau gadis itu tidak diam juga.

Mataku yang terpejam tak tentu membawaku ke alam mimpi yang kurindukan. Aku hanya ingin membuat Bintang diam dari segala ocehannya itu. Dan ternyata usahaku gagal karena Bintang terus saja mengeluarkan kata-kata yang membuatku risih mendengarnya.

“Ri, gue minta maaf kalo emang salah. Kan udah gue jelasin tadi, masa lo nggak mau maafin gue, sih?”

Sungguh, bukannya aku marah pada Bintang. Aku hanya masih kesal dengan kejadian semalam, efek sakit di perut juga menjadi alasan kenapa aku memilih diam. Kalau aku mengeluarkan sepatah kata saja bisa membuat kelas ini hancur berkeping-keping.

“Mentari….” Panggil Bintang sekali lagi membuat kekesalanku memuncak.

“Apa sih, Bi. Kamu itu tau nggak sih perut aku sakit banget, jangan ganggu dulu bisa?! Kalo mau minta maaf nanti kan ada waktu, lagian aku nggak peduli kamu salah atau nggak!” semburku pada Bintang yang membuat beberapa orang di dalam kelas ini menatapku bingung.

Kepalaku kembali kutenggelamkan di antara lekukan tangan tanpa mempedulikan mereka yang masih menatapku bingung. Bintang kembali diam, tidak lagi mengoceh seperti tadi, meminta maaf, atau mengatakan apapun yang sedang tidak ingin kudengar. Aku bersyukur akhirnya bisa juga membungkam mulut cabe Bintang yang cerewet itu.

Kesadaranku hampir menghilang mengikuti pejaman mata saat suara nyaring bel tanda masuk berbunyi. Segera kukembalikan kesadaran sebelum guru pengajar selanjutnya masuk dan memberi materi di kelas.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang