《 EMPAT BELAS 》

44 4 0
                                    

Chapter 14

Tidak perlu menunggu untuk bahagia. Cukup syukuri apa yang kau punya.

-Mentari-

》》》♡《《《

Apa kalian pernah merasa di acuhkan? Bagaimana rasanya? Pasti tidak enak bukan? Itulah yang kurasakan selama bersama Radit. Cowok itu hanya diam tidak pernah berniat membuka obrolan sama sekali. Oke, tidak lupakan yang satu itu. Tapi ketika aku berbicara dan mencoba mencari topik yang tepat kemana suaranya, kenapa seolah dia kehilangan suara atau membenci topik yang kubahas. Radit memang semenyebalkan itu. Sangat menyebalkan. Kecuali di hari yang masih sangat kuingat di mana Radit memelukku. Entah apa yang terjadi pada cowok itu sehingga dalam sekejap dia bisa berubah dari Radit yang irit ngomong dan menyebalkan menjadi Radit yang banyak meminta maaf dan perhatian.

Seperti saat ini, sejak keluar dari rumahku dia tidak mengatakan apapun bahkan ketika aku bertanya apakah Ayahnya libur atau tidak dia hanya menjawab singkat dengan kata 'iya' saja. Dan sekarang ini dia malah sibuk memainkan ponselnya ketika aku sudah siap dan akibatnya aku harus berdiri menunggunya terlebih dahulu. Dan ketika aku sudah jengah dengan dia yang masih larut dengan ponselnya yang sepertinya sedang mengetikkan pesan kepada seseorang, aku berdecak.

"Radit, ini kita jadi pergi nggak, sih?"

Radit mengangkat kepalanya untuk menatapku. Lalu beralih pada ponselnya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam saku celananya. Dia memberikan helm kepadaku yang langsung kupakai. Tanpa banyak bicara dia duduk di jok motornya dan menghidupkan mesinnya membuatku langsung naik ke jok belakang.

Motor Radit yang tinggi membuatku harus memegang bahunya. Dan setelah duduk dengan posisi yang nyaman tepat saat itu pula Radit menjalankan motornya dalam diam menjauhi rumahku.

Selama perjalanan masih sama seperti sebelumnya, aku dan Radit tidak ada yang berbicara. Sampai aku terkejut ketika Radit berhenti di sebuah tempat. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya dan kulihat tempat ini menyerupai taman.

"Turun!"

"Ngapain?" tanyaku ketika Radit menyuruhku turun. Mataku masih menyisir setiap sudut tempat di depanku ini.

"Turun aja napa! Nggak usah bawel!"

Aku tidak punya cukup nyali untuk membantah Radit yang sudah mengeluarkan nada kesalnya. Kuturuti perkataannya untuk turun dan kulepas helm di kepalaku. Radit sudah berjalan meninggalkanku ketika aku baru meletakkan helm di atas jok motornya. Dengan sedikit berlari aku berusaha mengejar Radit. Sampai akhirnya aku bisa menyamakan langkah dan kini berjalan beriringan dengannya.

"Kita mau ngapain kesini?" tanyaku yang tidak di jawab oleh Radit. Meskipun kesal aku tetap mengikuti kemana langkahnya pergi karena aku tidak mungkin berjalan sendiri disini, bisa hilang aku nanti.

Radit berjalan menuju dua cowok yang sedang duduk sambil memainkan ponsel. Mereka masih larut dalam ponsel masing-masing yang sepertinya sedang memainkan game. Bahkan ketika aku dan Radit sudah berada di dekat mereka pun mereka masih tidak berpaling dari ponsel masing-masing.

"Eh, tai lo. Ini benteng gue dihancurin siapa coba?" salah satu dari mereka mengumpat, mungkin karena permainan dalam ponselnya tidak berjalan sesuai keinginannya.

Radit tidak peduli dengan kedua cowok itu dan lebih memilih duduk di samping cowok yang tadi mengumpat. Aku yakin mereka berdua adalah temannya Radit karena sebelumnya aku pernah melihat mereka bersama Radit sedang mengobrol di parkiran motor sewaktu Radit mau mengantarku ke toko buku waktu itu.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang