LIMA PULUH EMPAT

22 4 0
                                    

Membujuk orang lain terkadang begitu sulit, terlebih ketika sesuatu itu tidak seperti yang diinginkannya. Tidak berbeda pula denganku yang meminta Radit masuk sekolah. Cowok itu bersikeras ingin berada di rumah sakit sepanjang hari untuk menemaniku. Alasannya tidak masuk akal, yaitu karena dirinya begitu menginginkannya. Masalahnya adalah karena cowok itu sudah memakai seragam lengkapnya.

Hampir satu jam membujuknya, akhirnya aku berhasil membuat cowok manis itu pergi. Kini tersisa aku sendirian di dalam ruangan serba putih itu menunggu dokter masuk memeriksa keadaanku. Mama sedang keluar, katanya harus menyelesaikan sesuatu. Aku senang karena akhir-akhir ini Mama menjadi sering berada di sampingku.

Aku tersenyum ketika melihat kotak berwarna tosca diatas meja nakas. Sedari kemarin kotak itu selalu berada di sana. Sesekali ketika aku bosan, aku membaca puisi-puisi disana. Lalu ada sebuah kalender kecil tergeletak disampingnya. Mama sengaja meletakkannya disana untuk menghitung berapa hari yang sudah terhabiskan.

Tiba-tiba ponselku bergetar disertai nada dering. Nama Bintang terpampang diatas layar. Aku menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.

“Halo?”

“Gue tebak lo lagi nungguin seseorang.”

“Iya, nungguin dokter ganteng ngecek.”

“Anjir, kenapa nggak pernah bilang kalo dokternya ganteng, sih.”

Aku terkekeh pelan mendengarnya, seolah cewek itu mempercayai. “Iya ganteng, tapi udah punya anak tiga. Mau?”

“Ish… selera lo nggak kelas banget, sih.” Sontak aku tertawa mendengar suara Bintang bernada kesal.

“Bilangin ke Adnan nggak, ya?”

“Apaan?”

“Kenapa justru aku denger dari Radit kalo kamu udah jadian sama Adnan? Waktu aku koma kamu berbahagia ria gitu ya, jadian sama Adnan?”

“Nggak gitu,” protes Bintang. “Gue jadian sebelum gue denger kecelakaan lo.”

“Terus kenapa nggak traktir?”

“Yes keles, entar gue di uleg sama Mama lo seenaknya bawa lo keluar. Lagian udah gue bawain buah juga.”

“Yee… nggak ikhlas bawain temennya.”

“Serah lo, serah!”

“Kamu di kantin?” tanyaku mendengar riuh suara dari seberang.

“Yoai, bosen gue kalo classmeet gini. Udah si doi ikut tanding futsal lagi, tambah ngebet pengen pulang gue.”

“Liat yang lomba aja dong.”

“Males tau! Sebel gue yang nonton pada alay gitu, teriak-teriak ‘Yeee semangat, lo pasti menang, aye aye’.” Aku terkekeh mendengar Bintang menirukan suara itu berlebihan. “Eh, tapi cowok lo noh bikin gempar satu sekolah tau.”

Kekehanku berhenti seketika. “Kenapa?”

“Ya siapa juga sih, ya yang nggak suka kalo ada cowok sixpack nggak pake baju.”

“Ha?!” Aku sontak terpekik hebat, membuat Bintang mengumpat disana. Aku terkejut mendengarnya. Terutama oleh— “Radit?”

“Ya keles cowok lo Pak Handoko.”

“Terus?” Aku mencoba bersikap sebiasa mungkin. Tidak lucu jika nantinya Bintang mengetahui Mentari tengah memerah karena membayangkan ucapan sahabatnya.

“Kok terus, sih?” ujar Bintang seolah tak terima dengan responku. “Itu cowok lo! Radit. Bego apa gimana sih, Radit loh ini.”

“Ya terus aku harus apa? Minta kamu fotoin dia gitu?” Aku segera menutup mulut lancangku ini. Tidak sopan sekali berkata seperti itu. Terdengar seperti perempuan yang haus akan cogan. Padahal si cowok juga pacarku.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang