EMPAT PULUH EMPAT

25 1 0
                                    

Justru saat kita terlalu dekat, jarak akan terbentang semakin jauh.

***

Udara di sekujur tubuhku tiba-tiba hilang, menguap tinggi dan tak ada kesempatan untuk kembali. Begitupun di sekitarnya. Aku merasa berada di ruang angkasa. Dan seluruh atmosfer disekelilingku pun seolah terhenti untuk menjalankan tugasnya. Sekarang bagi seorang Mentari hanya membutuhkan udara segar.

Kata menusuk tadi masih terngiang jelas dikepalaku. Bahkan untuk mendengarnya saja terasa berat, apalagi menjawabnya. Mau apa dia bertanya seperti itu? Apa dirinya tidak pernah diajarkan tata bahasa?

“Sederhana, cuma mau bantu kamu.”

Radit tersenyum kecut didepanku. “Manfaatnya sama lo apa? Lo bakal dapat apa?”

Sesak ini semakin terasa, seolah aku hanya menghancurkan diriku sendiri dengan bantuan yang kutawarkan pada cowok ini. “Aku nggak akan maksa kali ini, terserah kamu. Dan, ini bukan bantuan lagi, tapi penawaran. Kalau kamu setuju, penawaran ini akan tetap berlaku selamanya.”

Aku bangkit, membuat Radit perlahan mundur dengan wajah pasrahnya. “Oh, ya. Maaf terlalu jauh ikut campur.”

Dan setelahnya aku benar-benar pergi dari sana.

***

“AAAAA…..Mentari, gue sayang lo, deh.”

Aku memasang wajah jijik pada orang ini. Dengan tiba-tiba Bintang memelukku dari belakang seraya memekik girang layaknya baru saja mendapat 1 milyar secara cuma-cuma. Aku berusaha melepas ketika seluruh penghuni kelas itu menangkap sosok kami berdua di depan kelas.

Berhasil melepas pelukan super menyebalkan itu, aku memilih duduk di kursiku daripada harus bertengkar dengan Bintang. Seperti biasa dan tak pernah lupa dilakukan ketika cewek itu ingin menceritakan sesuatu, dia selalu mengikuti kemana aku pergi.

“Lo mau denger cerita istimewa gue, nggak?” tanyanya saat sudah terduduk di sampingku.
“Nggak. Aku lagi nggak mood, Bi.” Dengan wajah terlihat selemas mungkin aku mengabaikan Bintang.

“Yah, lo mah bakalan terlewat cerita sang putri.” Bintang menatapku untuk mencari perhatianku.

Aku berdecak kesal dengan kepala yang mengangguk samar sekali, disertai pekikan super Bintang lagi. cewek itu terlalu bersemangat mendongeng untukku kali ini.

“Gue nggak tau seberapa banyak mantan gue, tapi yang kali ini kayaknya belum pernah ada difikiran gue. Jadi tadi gue ngobrol panjang lebar kali tinggi, dong, sama Adnan.” Dengan suara yang tidak terlalu besar Bintang memulai ceritanya.
Udah tau kali, Bi.

Aku masih dengan wajah tak tertarikku dan Bintang dengan yang mulai lemas dengan dahinya yang mengerut. “Lo kok gitu doang, sih, Ri?! Nyebelin tau, nggak!”

Kupijat keningku berharap pening yang menyerang ini kian menghilang. Baru berapa saat, bel tanda istirahat kedua berbunyi. Melihat orang-orang berlarian keluar membawa tas, kurasa saatnya pulang.

Akhirnya…

Tunggu, aku baru mengingat hari ini punya janji dengan Acha setelah tadi malam gadis itu mengirim pesan kepadaku dengan memintaku membawa kotak berwarna tosca yang dulu kubawa dari rumahnya. Untung saja, tidak terlupa olehku.

Aku mengambil tas dan menggendongnya seraya berdiri lalu berjalan keluar kelas. Aku merasa Bintang mengikuti langkahku. Diatas tangga aku berbalik, menatap Bintang yang dengan tampang polosnya menatapku.

“Aku mau pulang.”

“Ikut.”

Aku mendengus. “Aku mau ke rumah Acha dulu.”

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang