Terkadang perlu kebisingan untuk melupakan kekesalan
***
Sepertinya Radit tak berniat sedikitpun untuk mengantarkanku pulang. Terbukti sejak makan siang tadi cowok ini masih setia membawaku keliling kota dengan mobilnya. Sampai berhenti di sebuah bukit yang letaknya lumayan menjauh dari kebisingan kota. Meski jalanan batu dan sedikit terjal itu lumayan menghambat laju mobil Radit, tapi kami sudah sampai di sini sekarang.
Ini mungkin keempat kalinya aku mengunjungi tempat ini dengan orang yang masih sama. Suasananya pun masih sama, tenang dan sunyi, namun menyenangkan. Aku menuju ke tepi bukit untuk menikmati suasana sejuk daerah ini. Kurentangkan kedua tanganku dan juga menengadahkan kepala ke atas membuat semilir angin dengan halus menerpa wajahku.
Tanpa kusadari ternyata sedari tadi aku berada di sini sendirian, sedangkan Radit telah melesat naik ke atas rumah pohon. Aku menjadi tertarik melihat apa yang dilakukannya di atas sana. Seperti setiap datang, tempat itulah yang menjadi tujuan utamanya.
Aku sedikit kewalahan menaiki satu persatu tangga disana karena rok yang melekat di tubuhku yang terkadang beterbangan karena angin. Sampai di atas sana, aku masih tak puas mengagumi betapa indah rumah itu berdiri diatas sini. Radit tengah bermain dengan lensa kameranya di sudut ruang. Dari jendela kecil itu juga menampakkan kekagumanku yang luar biasa kepada ciptaan Tuhan.
“Sebenarnya masih ada rahasia disini.”
Aku berbalik. Menatap Radit yang masih setia duduk bersama kamera di tangannya. “Apa?” tanyaku penasaran.
Radit bangkit dari duduk. Setelah berdiri sempurna, cowok itu sengaja mengarahkan kameranya menghadapku dan mengambil satu bidikan disana. Wajahku yang terkejut mungkin menjadi objeknya.
“Apaan, sih, Dit. Nggak lucu tau nggak. Muka aku pasti cengo banget.” Aku mendekati cowok itu berusaha mengambil kamera yang berusaha Radit jauhkan di tangannya. Aku yakin dengan ruang sekecil ini harusnya aku cukup mampu untuk mengambil kamera itu.
“Dit, liat dulu kameranya.” Cowok itu sama sekali tak mempedulikanku, justru terbahak dengan situasi ini. Satu tangannya yang tak memegang kamera berusaha menahan tubuhku dari jangkauan kamera itu.
Sampai dia berhenti tertawa dan menampilkan wajah serius yang membuatku menatapnya dengan berhenti bergerak. “Lo mau tau nggak rahasianya?”
Kujauhkan tubuhku dari Radit. Merasa rautnya sedang tak bersahabat kali ini. Dengan menunduk aku berbalik dan berdiri di depan jendela, mengambil potret segala keindahan disana dengan mataku. Berharap debaran yang hadir tiba-tiba ini segera menghilang. Entah sejak kapan semua ini muncul, bahkan sampai membuat seluruh tubuhku menjadi tidak normal.
Bertambah lagi degupan itu ketika sebuah tangan terjulur lolos berada di depanku dengan sebuah kamera yang menampilkan potret diriku tengah menengadahkan kepala seolah mengambil seluruh oksigen disana. Bukan foto itu yang menjadi masalahnya. Aku adalah masalah sebenarnya, ketika tak bisa mengontrol bagaimana getaran ini bisa muncul.
“Ini cantik,” ujar orang yang sekarang berdiri tepat di belakangku.
Kemudian jari tangannya menekan satu tombol di kamera itu, menampilkan potret yang berbeda dari sebelumnya. Aku yakin ini foto beberapa detik lalu. Terlihat wajahku berekspresi begitu terkejut dengan mata membulat dan bibir setengah terbuka.
“Ini juga cantik,” suara yang sama menggema tepat di telinga kiriku.
Satu tangan cowok itu mengambil lenganku, membalik tubuhku hingga berhadapan dengannya. Wajahku yang masih sama terkejut, gugup, malu seperti tadi akhirnya berani menatap matanya yang juga melakukan hal yang sama. Aku perlu sedikit mendongak untuk itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...