EMPAT PULUH LIMA

21 1 0
                                    

Tertawa mungkin bukan cara terbaik untuk bahagia, namun kamu bisa menyalurkan bahagia pada orang lain dengan tawamu itu.

***

Sebenarnya sejak dulu gue udah mutusin orang itu adalah lo.
Otakku masih harus berputar mendengarnya. Tidak berniat menjawab ucapan Radit yang masih menatapku intens. Cowok ini seolah begitu mudah mengatakannya. Salahkan aku jika merasa aneh dengan ucapannya? Seperti perasaan ingin melompat dari lantai 40 gedung tinggi.

“Lo nggak perlu mikirin itu, tapi kalau lo mau tau kenapa gue buat banyak puisi itu karena gue suka aja. Apa yang gue rasain gue tumpahin semuanya disana.” Radit tersenyum. “Dan kalau lo mau tau darimana gue belajar, gue belajar sendiri, dong,” ucapnya penuh dengan gaya bangga.

Aku berdeham untuk menetralkan diri. “Aku mau ngasih tau, kalau tawaran aku tadi masih berlaku.”

Kulihat dahinya mengernyit halus. “Lo belum cukup faham?” katanya sambil tersenyum miring. “Gue terima.”

Aku tersenyum lebar. Rasanya seperti buncahan bahagia meledak didalam dada. “Oke, jadi kapan kita mulai?”

“Sekarang?” suaranya seolah menantang.

Senyumku semakin lebar. “Siapa takut?!”

***

Aku masih bisa mendengar suara isak tangis dari dalam ruangan itu. Meski sekitar 2 jam aku sudah meninggalkan rumah ini, tetap tidak berhenti juga suaranya. Kini aku dan Radit sudah berada di depan kamar Acha yang tertutup rapat. Kutatap wajah Radit yang memancarkan rasa bersalah. “Siap?”

Cowok itu mengangguk. Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. “Dengerin aku, kamu harus pelan-pelan ngomong sama dia, nggak boleh emosi, nggak boleh marah, sesalah apapun dia harus kamu maafin,” kataku memberi wejangan terakhir sebelum Radit masuk ke kamar Acha. “Jangan lupa minta maaf juga, kamu juga salah. Dan dia itu adik kamu,” lanjutku.

Radit mengangguk yakin. Kemudian meraih handle pintu, memutarnya sekali dan berhasil membukanya. Menampakkan Bintang yang tengah menenangkan Acha menengok ke arah kami. Serta Acha yang langsung memalingkan muka setelah melihat Abangnya datang. Wajah gadis itu masih sama mengenaskannya seperti tadi.

Radit mendekat kearah Acha yang duduk diatas tempat tidur. Aku mengisyaratkan Bintang untuk keluar. Dengan sekali anggukan Bintang segera beranjak. Radit duduk dan bernafas sekali sebelum mengelus rambut Acha yang membelakanginya.

Segera ku tutup pintu kamar Acha, membiarkan kedua saudara itu berbicara empat mata adalah hal yang paling tepat dilakukan setelah kejadian tadi.

***

“Dari mana lo, dua jam nggak balik-balik?” serbu Bintang saat aku baru saja terduduk di sofa ruang tengah.

Kuputar kepalaku menatap Bintang yang menyusul duduk disebelahku dengan tangan menyilang didepan perut. Cewek itu menatapku dengan matanya yang meminta penjelasan.

“Bujuk Radit biar dia minta maaf ke Acha.”

“Segitu lamanya?”

“Kamu fikir Radit itu anak kecil yang dengan dikasih es krim aja nurut?” Kuambil remot TV dan menyalakan layar berukuran sekitar 14 inchi itu. “Dia itu keras kepala.”

***

Keadaan sekolah tak terbentuk sama sekali. Jejak sepatu para siswa tertinggal dimana-mana. Sisa hujan tadi malam membuat dunia seolah menghukum lantai yang menjadi kotor karenanya. Beberapa siswa rela membersihkan kelas mereka sepuluh kali demi terhindar dari kemarahan guru karena kelas terlihat kotor. Ini akibat sepatu mereka sendiri.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang