ENAM PULUH SATU

11 0 0
                                    

Terlalu banyak kenangan, terlalu sulit meninggalkan.

***

“Mentari, bangun!”

Suara khas disertai dengan silau dari jendela kaca membuatku terpaksa membuka mata. Hangatnya selimut masih menggodaku untuk kembali ke alam mimpi. Namun Mama sangat memaksaku untuk bangun, bahkan sampai menarik selimutku. Dengan menggerutu aku memohon kepada Mama untuk mengembalikannya. Udara pagi ini sedikit lembab dan dingin, jadi sangat tidak baik kalau aku meninggalkan tempat tidur sekarang.

“Nggak! Udah jam 7 juga! Pamali anak gadis bangun siang, nanti jodohnya diambil orang!”

“Lima menit, Ma…”

“Banguuuun!” tanganku ditarik paksa oleh Mama hingga aku terduduk lesu di atas tempat tidur. “Udah ditunggu Radit dari tadi dibawah.”

Aku langsung membelalak. Mengambil awalan berdiri lalu melompat dari atas tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Secepat mungkin aku membersihkan diri. Begitu keluar dari kamar mandi, Mama sudah tidak ada dan kamarku sudah rapi kembali. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7.15. Setelah berpakaian, aku menata rambutku kucir kuda. Rok selutut berwarna coklat tua dipadu dengan kaos bertuliskan I’m Yours coklat muda terlihat cocok di tubuhku.

Setelah kurasa cukup, aku memakai sandal bulu berwarna putih dan segera keluar kamar. Dengan setengah berlari aku, aku menuruni tangga. Sampai di ruang tamu, tidak kutemukan siapapun disana. Tidak juga ada tanda-tanda kehadiran tamu. Aku berjalan kearah pintu utama, membukanya dan melihat apakah ada kendaraan terparkir di depan garasi mobil atau tidak. Ternyata tidak ada apapun di halaman rumahku. Hanya kosong.

Aku kecewa, masuk dan menutup pintu. Terasa lucu juga, mempercayai Mama dan melakukan hal konyol seperti ini. Bagaimana bisa Radit berada di rumahku, kalau biasanya saja jam segini belum bangun.
Aku berjalan gontai menuju dapur, berharap menemukan Mama. Benar saja, Mama tengah menyajikan sarapan di sana. Dengan kesal aku menjatuhkan tubuhku diatas kursi makan.

“Nah, gitu, kan cantik. Udah mandi, udah wangi, nanti jodohnya cepet dateng.”

Aku berpura-pura tak mendengar Mama. Rasa kesal karena di jebak masih kusimpan. Lihat saja nanti, kalau aku meledak seperti apa.
Mama duduk di sampingku. Menyajikan sarapan pagi dan kemudian memakan porsinya. Piringku yang sudah diisi makanan oleh Mama hanya kulihat tanpa berniat menyentuhnya. Wajah cemberutku pun tidak juga hilang. Biarkan saja, aku ingin Mama mengetahui betapa kesalnya aku!

“Orang-orang aja susah cari makan, masa kamu yang makan tinggal nelen aja kayak gitu.”

Aku melirik Mama sebelum menegakkan dudukku. Dengan kasar aku mengambil makanan dengan sendok. Sengaja aku makan dengan cepat.

“Kenapa, sih, mukanya itu?”

Aku memutar bola mata malas. Mama berpura-pura tidak mengetahui penyebab kekesalanku!

“Iya, deh, Mama minta maaf. Abis kamu kalo nggak dipanggilin Radit nggak mau nurut, sih.”

Aku membelalak menatap Mama. Kunyahanku berhenti padahal mulutku masih penuh dengan makanan. “Mana ada!” protesku tak terima, sampai makanan dari dalam mulutku menyembur keluar.

“Ih, jorok kamu! Anak gadis, kok, makannya kayak gitu.” Mama membersihkan nasi yang jatuh diatas meja dengan tisu.

Aku segera menelan makananku. “Mama, sih, boong!”

“Kalo Mama nggak boong, kamu mau bangun?”

“Ya, mau lah.”

“Mau tapi nanti jam 12 siang?”

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang