Kalau tidak ingat masih ada kebahagiaan, aku ingin mati rasanya.
***
“Maksudnya?” tanganku membolak balik kertas berisi puisi yang baru saja kubaca, mencari nama penulis yang siapa tau tertera di sana.
“Abang Radit yang buat puisinya.”
Kepalaku seketika terangkat. Terkejut, menatap Acha yang tersenyum sembari menaikturunkan kedua alisnya.
“Kamu serius?” tanyaku tak percaya.“Iya. Seribu rius yang ada di dunia ini aku kumpulkan untuk jawab pertanyaan kakak.”
Aku masih tercengan. Semua kertas di tanganku perlahan terjatuh ke atas kasur satu per satu. “Nggak percaya.” Aku menatap kumpulan kertas-kertas itu tak percaya. Tulisan disana memang tak terlalu rapi, khas tulisan cowok. Aku tahu itu. Namun untuk pernyataan Acha baru saja, sulit bagiku untuk mencernanya.
“Apa yang buat kakak nggak percaya, sama kayak yang aku fikirkan waktu pertama nemuin kertas-kertas ini di laci meja abang.”
Aku mengangkat kepala sekali lagi, menatap Acha dengan masih tak percaya. Keningku berkerut semakin dalam. “Di kamar Radit?”
“Iya, makanya itu.”
“Kenapa kamu bisa nyimpulin kalo ini buatan Radit?” tanyaku pada Acha semakin dalam. Jujur, aku sangat tidak percaya pada hal itu. Tanganku sampai meremas kertas tepat di depan wajah Acha.
“Itu bener-bener tulisan abang, kotak tosca ini punya abang udah lama, aku sering liat abang menyendiri di balkon sambil nulis sesuatu, dan itu mungkin alasan abang nggak suka kalo ada orang lain masuk kamarnya, dia nyembunyiin ini,” Kata Acha menjelaskan.
“Kamu yakin?”
“Seribu kali yakin.” Jawab Acha mantap.
Aku memandangi kertas-kertas di hadapanku. Menelusurinya satu per satu. “Kakak pinjem semuanya.”
***
Kalau seseorang bisa memilih sendiri takdir hidupnya, maka akan lebih baik bagiku untuk tidak memilih. Karena aku tau, Tuhan pasti lebih bijak dalam memilih. Dan siapa aku? Hanya pemilih bodoh yang mementingkan kebaikan sesaat, tidak peduli seberapa besar resiko yang akan terjadi.
Karena itu semua telah diatur Tuhan. Tuhan tau apa yang harus terjadi. Tuhan tau apa yang harus seseorang lakukan. Semua sudah ditulis dalam takdir masing-masing individu. Tak ada satu orang pun yang bisa mengubah takdir itu, sekeras apapun ia mencoba.
Mungkin pertemuanku dengan Radit merupakan kebetulan semata, namun semakin jauh aku berusaha menganggap semua ini kebetulan, semakin besar bisikan bahwa ini adalah takdir Tuhan. Tiada yang kebetulan, aku tau. Namun ini semua di luar akal. Aku tak pernah membayangkan tentang pertemuan aneh itu hingga membawaku pada keluarga baru.
Dan hingga sekarang membawaku duduk diatas sebuah bangku, menunggu seseorang yang beberapa jam lalu mengirim pesan kepadaku. Sejak kedatanganku, sudah 20 menit berlalu. Hampir satu cup besar capucinno kuhabiskan dan yang kutunggu belum datang juga. Seharusnya jika dia menepati janjinya, 30 menit yang lalu kami sudah bertemu. Nyatanya memang dia seperti menyepelekan janjinya sendiri.
Kulirik arloji putihku, pukul 7 malam. Baiklah, kini aku menyesal tidak membawa buku pelajaran untuk sekedar mengerjakan sedikit tugas rumahku. Atau aku lebih menyesal karena sudah datang kesini?
Aku menyesap capucinno ketika terdengar bunyi bel dari pintu kafe ini, tandanya ada yang masuk. Aku hampir saja terkejut, sesaat tanpa aba-aba, seorang cowok sudah berdiri di belakangku saat aku berniat membalikkan badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Fiksi Remaja50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...