Rasanya hari libur begitu jarang kurasakan. Sabtu dan minggu menjadi hari terbaik bagiku untuk tidur di dalam kamarku. Atau mungkin mengerjakan PR yang sudah menumpuk. Kegiatanku selama hari libur tidak pernah berubah. Bangun pagi, jogging, mandi, sarapan, kemudian bebas. Kecuali beberapa hari terakhir ini aku sering ke rumah Acha.
Aku baru selesai berganti baju ketika suara notifikasi ponsel menarikku untuk membukanya. Nama seseorang terpampang jelas disana, Radit. Beberapa hari ini namanya yang menjadi hantu di ponselku.
Radit
Udah selesai?Dahiku terlipat. Aku bingung dengan pertanyaan yang disampaikan Radit lewat pesan line itu. Selesai apa?
Mentari
Apa?Aku menimang ponsel di tangan kananku sembari menunggu balasan dari Radit. Pesan pertama olehnya dikirim sekitar 8 menit yang lalu, artinya saat ini kemungkinan besar cowok itu bisa menerima balasannya.
Sudah sekitar 3 menit aku menunggu dengan gelisah. Masih tak ada jawaban. Waktu terasa lama sekali. Lalu ketika Bi Yun mengetuk pintu kamarku, aku terkejut. Hampir saja menjatuhkan ponsel jika tak hati-hati.
“Kenapa, Bi?” tanyaku setelah membuka pintu, menemukan Bi Yun dengan celemeknya berdiri sambil tersenyum manis.
“Ada temen Non Mentari di bawah,” jawab Bi Yun. Lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan senyum menggoda. “Yang mas ganteng itu, loh.”
Aku terbelalak tentunya. Terkejut bahkan hingga mulutku terbuka. Aku menatap Bi Yun tak percaya.
“Udah, Non cepet siap-siap. Biar mas-nya nggak nunggu lama.” Masih dengan senyum menggodanya, Bi Yun akhirnya pergi dari depan kamarku.
Aku segera masuk ke dalam kamar. Menutup pintunya, menguncinya. Dan kemudian aku memegangi dadaku yang berdebar kencang. Aku kelimpungan, berjalan kesana kemari mengelilingi seluruh ruang kamarku berharap menemukan sesuatu yang dapat membuat Radit pergi dari sana.
Aku menyerah ketika terduduk diatas tempat tidur. Tiba-tiba terfikir olehku tentang sesuatu.Kenapa aku bingung kayak gini? Buat apa? Itu kan cuma Radit.
Seolah menyadarkan, aku segera bangkit berjalan menuju lemari pakaian dan rok berwarna peach dan sweater abu-abu dari sana. Lalu bergegas mengganti pakaian. Tidak mungkin juga aku turun menemui Radit dengan hanya mengenakan kaos dan celana jeans pendek diatas lutut.
Setelah selesai mengganti baju, aku merapikan rambut. Mengucir kuda, terlihat menawan dengan rok peach dan sweater abu-abu. Terlihat lebih baik dari sebelumnya yang hanya kucepol asal. Sekali lagi kuperhatikan penampilanku. Setelah memakai sandal jepit berwarna tosca milikku akhirnya aku berhasil membawa tubuhku keluar dari dalam kamar.
Sebenarnya entah mengapa juga aku gugup seperti ini.Dapat kulihat –meski aku masih berada diundakan tangga teratas— Radit duduk di sofa panjang ruang tamu. Cowok itu terlihat menatap ke ponselnya yang menyala. Aku berjalan semakin menuruni tangga.
“Kenapa?” tanyaku saat sudah berada di hadapan cowok itu.
Radit mendongak, terkejut karena kehadiranku yang tiba-tiba. Cowok ini mematikan ponselnya dan menaruhnya di dalam saku celana. Meski aku berusaha menjaga jarak dengannya, tetap saja terasa aneh berada tepat di depannya seperti ini. Radit berdiri dan sekarang kami berhadapan. Matanya membalas tatapan mataku yang meminta jawaban.
“Jadwal belajar.”
Aku mengernyit bingung. “Yang bener aja, ini hari sabtu, Dit,” protesku tak terima.
“Lo udah janji mau ngajarin gue.”
Aku seperti terpojok di dalam ruangan milikku sendiri. Jika biasanya aku memiliki banyak alasan untuk menolak Bintang yang mengajakku pergi, maka sekarang aku seolah tercekat dalam sebuah lubang penggalianku sendiri. Alasan apapun itu sepertinya tak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Fiksi Remaja50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...