LIMA PULUH DUA

19 1 0
                                    

Kamu tidak bisa kembali pada dunia yang tak pernah menerimamu. Tapi kamu bisa meminta bantuan pada dunia untuk mencarikan tempat tinggal.

***

"Mentari? Pulang, Sayang. Ayo sini." Suara itu terdengar hangat disertai penampakan seorang wanita dengan dress biru muda merentangkan tangannya menghadapku.

Senyumku terbit seketika melihatnya. Aku seolah ingin sekali memeluknya. Namun tarikan lainnya terasa ketika justru aku lebih ingin mengejar kupu-kupu itu. Dress merah jambu kesukaanku beterbangan karena angin, begitu juga dengan rambutku.

"Mama, ayo ikut aku. Disini banyak kupu-kupu." Tubuhku yang kecil membawaku terlalu mudah melopat, namun tak cukup tinggi untuk menjangkau kupu-kupu yang tengah terbang itu.

Tiba-tiba gerakanku terhenti oleh sebuah cahaya besar didepanku. Silaunya membuatku menghalangi cahaya itu dari mataku dengan tangan. Dari cahaya itu terdengar tawa nyaring dan juga ada beberapa anak yang sedang bermain disana. Melihat tawa lepas mereka adalah kebahagiaan yang ingin juga kudapatkan.

Bersamaan dengan itu, suara Mama yang sebelumnya memekakkan telinga kini semakin lirih. Seolah aku yang semakin menjauh. Kubalik tubuhku menatap Mama yang tengah terduduk dengan lututnya jauh dari tempatku berdiri. Membuatnya terlihat sangat kecil. Sejenak aku menatapnya. Terlihat Mama dengan posisi itu seperti berada pada titik terendah dan hampir saja menyerah. Mata indahnya itu mengalirkan air mata dan kepalanya menunduk.

"Mama..." teriakku lantang membuat wanita itu mendongak masih dengan tangisnya.

Aku berjalan mendekat. Berdiri tepat di depan Mama yang masih terduduk. Tubuhku yang mungil membuat wajahku sejajar dengan wajah Mama. Perlahan telapak tangan kecilku menghapus air mata di pipi lembutnya. "Mama jangan sedih, nanti kalau Mama sedih aku juga sedih."

Senyum seketika terbit pada bibir Mama. Kedua tangannya meraih tanganku dan mengecup tepat dipunggungnya. "Mama sayang kamu, Mama selalu sayang kamu," ucapnya di tengah isak. Lalu dia mengecup pipiku. Terasa hangat tubuhku saat berada di dalam pelukannya. Aku tersenyum dibahunya membalas pelukan.

"Aku juga sayang Mama."

Suara bising itu membuatku mengendurkan pelukan. Panggilan atas namaku terdengar begitu jelas oleh mereka. Dengan mawar merah yang mereka bawa masing-masing satu, menatapku seolah memberitahu bahwa waktu telah usai. Terlebih dengan kebisingan yang memekakkan telingaku hingga terasa begitu sakit.

Kini aku telah tak berada dalam pelukan Mama lagi. Dia berada jauh di sana, sedang aku berdiri diantaranya dan anak-anak itu. Panggilan itu bersahut-sahutan dengan suara Mama. Seolah tak merelakanku pergi dan anak-anak itu mengajakku untuk meninggalkannya.

Aku terduduk disana seraya menutup telinga. Pekikan dari masing-masing mereka membuat kepalaku sakit berujung pada pening yang memutar pandanganku. Lalu ingatanku beralih kembali pada kejadian itu. Pada rasa sakit yang sama, rasa pening yang sama, dan rasa takut yang sama. Dunia berputar rasanya, tepat ketika suara-suara itu semakin tidak terdengar. Mengubahnya yang justru terdengar suara seseorang dan mesin meski masih samar.

Beberapa saat kemudian mataku dapat mengerjap meski terasa berat. Terus kucoba menggerakkan anggota tubuh meski rasanya sulit. Sampai samar pandangan menampilkan dua sosok dengan baju serba putih dan langit-langit serba putih pula. Lalu setelahnya mereka tak lagi terlihat berganti dengan sosok wanita dengan baju hijau berdiri di sampingku dengan tangan mengelus rambutku.

Pandanganku kini semakin jelas saat setetes air mata jatuh dari matanya mengenai pipiku. Rasanya semakin jelas aku bisa merasakan sentuhan lembut seorang ibu dan kasih sayangnya. Ini jarak terdekat yang pernah dibuatnya bersamaku. Begitu membuat air mataku lolos begitu saja membasahi pipi.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang