Terkadang foto adalah penerjemah, ketika bibir tak dapat mengatakan namun kamera dapat membidik perasaan.
***
Jam istirahat Aku sedang berdiri di depan pintu toilet untuk menunggu Bintang. Tidak lama cewek itu keluar sambil membenahi pakaiannya.
“Udah, yuk!”
Kami berjalan beriringan menuju kelas melewati koridor kelas yang tidak terlalu ramai dan bisa dibilang karena banyak siswa memilih menghabiskan waktu istirahatnya di kantin. Hanya ada beberapa siswa yang lewat. Dari ujung sini bisa kutangkap dengan mataku sosok cowok sedang berjalan santai sendirian. Matanya menatap datar namun tajam ke depan, seolah menerawang jauh tak berujung, seolah tidak ada perhatian lain.
Bahkan ketika kami berpapasan matanya tidak sedikit pun melirikku. Aku berbalik dan menahan tangan yang terasa besar di tanganku.
“Apasih!” tangan itu menepisku kasar sampai pegangan tanganku lepas.
“Elang, aku mau ngomong sama kamu.”
Tentu saja aku tidak menyerah, aku memegang tangannya lagi.
“Lepasin gue!” dan kembali tangan itu menepisnya.
“Woy, selow dong, Bro. Ini cewek,” Ucap Bintang yang sekarang sudah mengikutiku berbalik menghadap Elang.
“Lang...kamu…”
“Mau ngomong apa? Apa ada yang belum jelas? Udah jelas kemaren gue liat lo jalan-jalan setelah dengan mudahnya lo nyakitin gue. Sekarang mau ngomongin apa lagi?” ucap Elang bernada tinggi.
“Aku—”
“Seperti yang lo mau, gue udah lupain apa yang terjadi kemaren. Gue nggak bakal pernah inget kejadian kemaren lagi, gue akan lupain semuanya. Termasuk lo.” Elang menunjukku. “Termasuk lo yang pernah jadi sahabat gue, gue akan lupain semuanya.”
Aku tertegun. Mataku memanas. Tubuhku mematung tidak bisa digerakkan. Kakiku lemas. Hatiku kosong seketika. Mata kami masih saling menatap. Aku mencoba mencari sesuatu dari mata Elang, mungkin masih ada sedikit harapan untuk menjadi seorang teman. Tapi tidak kutemukan sama sekali. Aku bisa melihat jelas matanya menyorotku benci dan kecewa. Tidak ada tatapan teduh dari mata setajam elang itu lagi. Semuanya lenyap hanya karena perasaan tak berbalas Elang kepadaku. Apa aku bisa menilai kalau sebenarnya Elang itu egois?
Elang berbalik dan berjalan menjauh. Terlihat punggung tegapnya perlahan mengecil ditelan jarak. Lalu menghilang sempurna di ujung koridor yang bercabang itu. Air di pelupuk mataku tak bisa terbendung lagi dan akhirnya mengalir membentuk anak sungai di pipiku.
Bintang membalikkan tubuhku menghadapnya. “Dengerin gue baik-baik, Ri. Itu namanya bukan sayang dan keputusan lo kemaren udah bener banget. Dia nggak mungkin egois kalo sayang sama lo.”
“Lo pernah denger istilah ‘cinta tak harus memiliki’? Itu bukan sekedar kata-kata bijak ala jomblo yang di tolak, tapi itu bener. Cinta itu bukan cuma tentang memiliki terus jalan bareng dan habisin waktu bareng. Cinta itu tentang cara kita membuat orang yang kita cintai bahagia walaupun dia nggak bersama kita. Cinta juga tentang merelakan, kita nggak bisa maksa orang yang kita cintai sementara dia nggak mencintai kita. Itu namanya bukan cinta, tapi obsesi atau mungkin egois juga bisa. Dan kata egois lebih cocok buat dia.” Tangan Bintang menjulur ke samping menunjuk lurus kearah menghilangnya Elang tadi.
“Kalo emang dia sayang sama lo, dia nggak akan ninggalin lo malem itu dan akan ngasih kesempatan buat lo untuk jadi sahabat dia. Dengan begitu mungkin dia juga bisa bikin lo jatuh cinta. Tapi dia nggak ngelakuin itu karena dia Cuma berjuang agar kalian bisa punya status pacaran dan lo jadi pacar yang dia mau. Dan lo sampe nangis Cuma buat orang kayak gitu?” Bintang menggeleng sembari melepaskan tangannya dari bahuku. “Bukan Mentari.”

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Подростковая литература50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...