Aku tidak akan pernah siap untuk perpisahan. Namun jika Tuhan sudah memutuskannya, aku bisa apa?
***
Seharian ini aku menghabiskan waktu berdua bersama Radit di dufan. Melakukan semua hal yang kami inginkan. Mulai dari menaiki wahana, mengganggu orang pacaran –termasuk Bintang dan Adnan—, membantu ibu-ibu berjualan minuman dingin, menggantikan petugas jual tiket, bahkan menolong anak kecil yang kehilangan ibunya.
Semuanya terasa sangat menyenangkan hari ini. Sampai tidak menyadari waktu semakin mengikis hari, senja sudah di depan mata. Radit mengajakku pulang setelah istirahat sejenak. Hari ini melelahkan sekaligus menyenangkan. Aku tidak akan pernah melupakannya sekalipun suatu saat nanti aku sudah tidak bersamanya lagi. Sekalipun aku sudah tiada, rekaman ini akan selalu kuingat.
Di dalam mobil aku menyandarkan punggung. Memejamkan mata untuk sejenak melepas penat. Lalu mataku terbuka kembali ketika Radit sudah menjalankan mobilnya. Senyumku masih belum luntur. Jalanan yang mulai meremang membuatku semakin bahagia, seolah senja ikut merasakan kebahagiaanku.
“Capek tapi seru. Aku pengen ngulang hari ini terus,” racauku. Tidak peduli jika Radit tidak menanggapi atau mendengarnya.
“Hmm, kalo bisa diulang aku mau maksa kamu naik kora-kora lagi.”
Aku memukul lengan Radit. Cowok itu terkekeh. Saat tak sengaja melihat sesuatu di jok belakang. Aku mengambilnya. Sebuah kotak berwarna hitam. “Ini apa, Dit?”
Radit mengendikkan bahu.
“Aku buka, ya?” izinku.Radit mengangguk. Aku membuka perlahan kotak itu. Ternyata isinya adalah sebuah buku bersampul pink pastel dengan gambar seorang gadis sedang merentangkan tangan tersenyum cerah. Sepertinya tidak asing dengan gambar ini.
“Ini fotoku di atas tebing, ya?”
Foto yang dijadikan gambar animasi itu tampak sangat cantik menempel di sampul buku. Lalu kubuka buku itu. Kosong. Ini hanya buku diary biasa.
“Itu buat kamu. Nanti kalo kamu di London kangen sama aku, kamu bisa nulis disitu. Kalo kamu lagi sebel chat-nya nggak aku bales, bisa kamu tulis disitu.”
Aku terkekeh pelan. Memasukkan kembali buku itu ke dalam kotak dan kuletakkan di atas dasbor.
“Kamu nyadar, nggak, kalo ini hari ke-50?”
Radit menatapku dengan kening berkerut. “Maksudnya?”
“Dari awal kita ketemu sampai sekarang, ada 50 hari. Ternyata nggak butuh banyak waktu untuk buat semuanya berubah.”
“Kamu hitung?”
Aku mengangguk.
Bukan sejak awal, aku menghitung sejak hari dimana aku menyadari perasaanku. Aku memulainya sejak hari dimana aku menyadari segala perubahan dalam hidupku adalah sejak kedatangan cowok itu. Sekarang, tidak ada yang lebih kusyukuri selain kehadirannya.
Setelah itu, tidak ada percakapan sama sekali. Bahkan sampai mobil Radit berhenti di depan rumahku.
“Aku turun, ya?” pamitku.
Terasa berat memang. Ingin aku disini sampai fajar mengikis malam, sampai siang mengikis pagi di keesokan hari. Ingin aku menikmati wajah itu selamanya.
Radit tersenyum sembari mengangguk. Dan aku memutuskan turun setelah memakai tas dan mengambil kotak hitam dari atas dasbor. Tanpa menoleh lagi, karena aku tengah menahan sesuatu untuk keluar. Aku tidak ingin Radit melihatnya. Namun sepertinya gagal. Baru beberapa langkah, aku mendengar suara pintu mobil dibanting dan saat aku menoleh Radit sudah berdiri di belakangku. Sempat cowok itu memanggil namaku yang membuatku berhenti.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...