Hari ini adalah hari dimana Radit berjanji akan membawaku jalan-jalan, walaupun itu sekedar di taman rumah sakit. Setidaknya aku bisa keluar sejenak. Mama sedang tidak bisa membawaku karena tiba-tiba dia bilang ada sesuatu yang harus diurus, entah apa aku tidak tau. Kemarin malam aku juga sudah bertemu Bunda, Acha, dan Ayah. Mereka menjengukku sampai malam bahkan sampai aku tertidur. Entah kapan mereka pulang.
Aku masih menunggu Radit sampai pulang sekolah. Tidak terlalu lama karena katanya sedang ada Ujian Kenaikan Kelas yang akan berakhir di minggu ini. Rasanya aku menunggu begitu lama. Aku sudah berusaha mengusir rasa bosan dengan mengganti channel TV menemukan acara yang bagus, atau memainkan ponsel. Bagaimana dengan cemilan buah yang hanya termakan tidak sampai separuhnya. Dan sedari tadi menunggu, jam putih diatas pintu itu masih menunjuk pada angka 10.
Aku mendengus menatapnya yang seolah tak bergerak sedari tadi. Hal apa lagi yang bisa kulakukan untuk mengusir kebosanan. Dari tadi pagi tidak ada yang berkunjung ke sini. Aku mendapat pesan juga dari Bunda bahwa beliau meminta maaf tidak bisa menjenguk tengah berada di rumah Eyang karena Eyang sedang sakit. Aku membalas seadanya dan mendoakan kesembuhan Eyang.
Ini lebih membosankan daripada berada di rumah sendirian. Nafsu makanku juga berkurang membuat suasana semakin sangat sangat sangat bosan. Ingin ku terbang keliling dunia jika saja infus ini tak menggangguku.
Tak berapa lama kemudian seorang dokter dan perawat masuk ke dalam ruanganku. Mereka meminta izin untuk memeriksa keadaanku. Lalu dokter itu keluar tanpa sang perawat. Dia masih terlihat bekerja dengan melamin juga pulpen yang selalu berada di tangannya.
Aku mencoba berani membuka percakapan. “Sus, ada orang diluar nggak?”
Perawat itu menoleh. Dengan senyum ia menjawab, “Kalau keluarga mbak nggak ada dari tadi pagi.”
Aku menganggukkan kepala. “Sus, aku boleh nanya?”
“Iya?”
“Selama aku koma, ada sesuatu yang terjadi nggak, Sus?”
“Untuk itu saya kurang tau,” Perawat itu masih menjawab meski pandangannya terfokus pada layar diatas meja disisi tempat tidur. “Apa mbaknya ada keluhan?” sekarang dia menatap penuh padaku.
Aku berfikir sejenak, akan mengatakan ‘tidak’ ketika teringat sesuatu. “Dada kiri saya sakit kalau dipakai ketawa.”
“Oh, itu efek transfusi jantungnya mbak, mungkin belum terlalu lama jadi masih agak sakit. Tapi nanti lama-lama enggak kok,” ucapnya enteng sekali nafas. Seperti bukan hal yang aneh terjadi.
Justru berbanding terbalik denganku yang merasa bingung hingga perlu beberapa detik mencerna ucapannya. Keningku berkerut terus menatap perawat itu. Kebingungan menyelimuti diriku ketika sang perawat menoleh.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf, maksudnya transfusi jantung apa Sus?”
“Mbak mendapat donor jantung dari seseorang karena waktu itu jantung mbak hampir berhenti dan sudah tidak bisa menopang hidup mbaknya lagi.”
“Siapa, Sus?”
“Saya tidak tau pasti karena sebenarnya perawat untuk mbak lagi cuti sekarang, dia yang lebih tau, saya cuma menggantikan,” ucapannya terdengar mencurigakan. “Yang saya tahu setelah kecelakaan beliau meminta jantungnya didonorkan untuk mbak.”
Aku merasa perawat itu mempercepat kerjanya. “Saya permisi dulu, nanti kalau perlu sesuatu tinggal tekan tombol disini.” Dia menunjukkanku sebuah tombol untuk memanggilnya. Aku mengangguk sekali sebelum dia benar-benar keluar.
Bukan itu, satu hal baru yang kutau sekarang. Jantung ini milik seseorang yang saat ini sudah tiada. Tapi siapa orang itu? Apakah dia hanya orang disekitarku? Atau malaikat tak kukenal yang datang dan memberikan ini padaku lalu pergi begitu saja?

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Fiksi Remaja50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...