Menggenggam mimpi yang sudah hancur itu seperti menggenggam pasir kering
***
Malam ini aku sudah berada di pasar malam tempat aku akan bertemu dengan Elang. Buku berjudul Matahari yang di tulis oleh Tere Liye berada di genggamanku. Aku duduk di atas bangku panjang dengan gelisah. Sudah lima menit aku duduk disini dan Elang belum juga datang. Sebenarnya ini bukan salah Elang yang datang terlambat, tapi aku yang terlalu lebih awal.
Setelah tadi di sekolah Bintang memberiku wejangan tentang apa saja yang harus ku katakan pada Elang. Cewek itu juga menenangkanku dan membuatku sedikit lebih baik. Tetapi setelah sampai disini aku kembali takut dan gelisah. Suhu malam ini cukup dingin. Aku juga hanya memakai dress selutut lengan pendek, tapi tetap saja aku merasa gerah dan keringat sudah mengucur di beberapa bagian tubuhku.
Di hadapanku terpampang suasana ramai pasar malam. Ada banyak penjual yang menjajakan berbagai macam aksesoris dan ada juga yang menjual makanan dan minuman. Ada beberapa wahana juga disini, seperti tong setan, rumah hantu, bianglala, dan beberapa wahana lain yang biasa ditampilkan di pasar malam.
“Udah lama?”
Aku menoleh saat seseorang dari samping menepuk bahuku. Lalu orang itu duduk disampingku. “Eh, belum kok.”
“Rame banget, ya?” ucap Elang sambil memandang keadaan di sekitar kami.
“Iya. Oh iya, ini buku kamu, Lang.”
aku menyodorkan buku di tanganku pada Elang. “Makasih, ya.”Elang mengambil buku itu sambil tersenyum kepadaku. “Sama-sama.”
Sejenak kami diam. Membiarkan keramaian menguar jelas di telinga kami. Aku masih belum siap mengatakannya. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku belum siap dengan reaksi Elang yang akan menjauh dariku.“Jadi gimana?” tanya Elang.
Jantungku berdetak lebih cepat. Aku mengerti apa arti pertanyaan Elang, tapi aku masih berusaha mengumpulkan kata-kata.
“Em…gini Lang, aku…aku nggak bisa.” Jantungku sudah berdegup sangat sangat kencang dari sebelumnya. Elang menoleh kepadaku bersamaan dengan aku yang menoleh padanya.
Tatapan cowok itu menajam, tatapan yang sebelumnya belum pernah tertuju padaku. Aku menggigit bibir bawahku untuk mengatasi ketakutan akan tatapan tajamnya itu. Lalu kuputuskan tautan mata kami dengan menunduk sambil meremas tanganku sendiri.Kutarik nafas lalu kuhembuskan. “Aku tau ini berat buat kamu, tapi aku nggak bisa, Lang. Kita bersahabat, aku dan kamu, kita sahabatan udah lama. Kalo ditanya apa aku sayang sama kamu jawabannya iya, tapi itu untuk hubungan persahabatan kita. Aku nggak punya rasa lebih dari itu ke kamu, Lang…” aku berbicara lirih agar hanya Elang yang mendengar semua ini.
Aku merasa Elang masih menatapku dengan tatapan menusuknya. Lalu setelah meneguk saliva aku memberanikan diri untuk mendongak menatap cowok di hadapanku ini.
“Aku minta maaf, Lang…”
Elang mendesah kasar sebelum dia mengalihkan pandangannya ke depan. “Untuk jawaban seburuk ini kamu buat aku nunggu?”
Tubuhku mendadak bergetar mendengarnya. “Tapi kamu bilang kamu akan ngasih aku waktu.”
“Aku fikir kamu akan ngeyakinin diri kamu sebelum nerima aku, tapi aku salah.”

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Novela Juvenil50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...