TIGA PULUH TIGA

25 1 0
                                    

Kamu menjadi penghibur saat aku sedih, tapi terkadang kamu juga menjadi penyedihku saat aku terhibur. Maksudmu apa?

***

Kaki tanpa alasku terus berjalan, entah kemana. Sesekali aku terjatuh dari atas trotoar jalan dan beberapa pengemudi yang mungkin kaget dengan gerakanku membunyikan klakson sekeras mungkin. Lalu ketika berada di sampingku mereka memakiku. Entah kata apa yang keluar, aku tidak peduli. Suara tangisku sudah menguasai seluruh pendengaranku.

Sepatu di tanganku tidak kupedulikan lagi keadaannya. Tas selempang yang tadinya tersampir indah kini tidak lagi. Dan kalian sudah tahu penampilan wajahku di depan cermin wastafel tadi. Semua penampilan yang dipesiapkan Bintang tadi pagi kuhancurkan begitu saja.

Dan langkah kupercepat setelah mendengar teriakan dari belakang. Dari seseorang yang tidak ingin kutemui. Sebenarnya bukan hanya dia, aku sama sekali tidak ingin bertemu dengan seseorang apalagi berbicara. Suara berat itu terus saja memanggil namaku tanpa henti, seolah dengan teriakan aku bisa berhenti. Nyatanya tidak, aku tidak ingin berhenti dan tidak akan berhenti.

Jalanku berubah menjadi lari ketika aku mendengar suara gerakan dari arah belakang. Cowok itu lari mengejarku. Aku berlari sekuat tenaga. Aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang saat ini, bahkan Bintang, Acha, Bunda, atau siapapun itu. Aku hanya ingin sendiri. Lalu kenapa cowok itu terus mengejarku dan tidak menyerah.

Memang aku belum menjelaskan kepadanya kenapa aku pergi begitu saja. Aku juga belum mengatakan kalau aku ingin sendiri. Tapi seharusnya cowok itu bisa memahami kalau aku sedang tidak ingin diganggu. Yang artinya dia harus membiarkan aku sendiri.

Merasa lenganku di cekal oleh seseorang, tanpa berbalik aku langsung menghentakkannya, berharap agar cekalan itu bisa lepas dan aku bisa melanjutkan lariku. Namun tenagaku tak cukup kuat untuk menghadapi tenaga si pencekal. Aku tahu cowok yang tadi mengejarku yang menahanku.

“Kamu mau apa, sih?!” ucapku setengah berteriak kepadanya. Mataku kini sudah beradu pandang dengannya. Si pemilik mata cokelat terang—siapa lagi kalau bukan Radit—itu masih belum melepaskan lenganku.

“Lo yang mau apa! Lo nggak malu lari-lari di jalan kayak orang gila? Lo seenaknya jalan tanpa takut ada mobil yang mau nabrak lo? Lo mau mati, hah?!” tatapannya campur aduk. Bukan hanya kemarahan, tapi ada arti lain dari tatapan itu yang aku pun tidak terlalu tahu apa.

“Kamu ngapain sih, ngikutin aku?! Aku pengen sendiri, Radit. Jangan ganggu aku!” tatapanku terus menajam meski air mata masih terus mengalir. Sebisa mungkin aku terlihat kuat di depannya. Aku tidak ingin menjadi makhluk lemah di depan seorang laki-laki.

“Ya, tapi nggak harus lari-lari di jalan kayak tadi, bego! Lo bisa mati.” Teriaknya sekali lagi.

Kuputar lenganku agar bisa terlepas dari cekalannya. Aku tidak tahu apa makanan para laki-laki sehingga tenaga mereka lebih kuat daripada tenaga kami para kaum perempuan. Tetap gagal.

“Lepas!” lirihku masih dengan terus mencoba melepaskan tanganku dari cekalan Radit.

“Nggak.” Tolak Radit masih menatap tajam mataku dan dengan cekalannya yang lumayan kuat di tanganku itu. Lenganku terasa sedikit sakit dan aku yakin sudah ada tanda merah disana. “Lo mau apa kalo udah lepas? Bunuh diri? Buat apa? Buat sahabat yang udah ninggalin lo itu? Buat sahabat brengsek lo itu? Iya?!”

“Elang nggak brengsek.” Mataku membalas tatapannya sama tajam.

Radit tersenyum getir. “Bahkan setelah semua ini lo masih anggep dia nggak brengsek? Lo itu baik atau bego?”

Aku menatap kedua mata coklat itu bergantian, tanpa bisa berkata apapun lagi. Aku juga tidak mengerti dengan apa yang kukatakan sebelumnya. Berkali-kali aku mencoba berbicara dan yakin kalau memang Elang yang bersalah atas semua ini, tapi semuanya sia-sia. Karena ketika kalimat itu sampai di tenggorokan, tiba-tiba semuanya menguap. Hilang. Aku tidak bisa melanjutkannya untuk kunyatakan.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang