Aku tidak peduli lagi pada dunia yang mencoba menyangkalku, didukung olehmu sudah lebih dari cukup bagiku.
***Setelah membantu Bunda memasak kami makan malam. Hanya ada aku, Bunda, dan Radit di meja makan. Acha masih mengerjakan tugas di rumah temannya dan Ayah sepertinya masih ada pekerjaan di luar.
Suasana makan malam itu hening, hanya terkadang Bunda bertanya lalu setelah di jawab tidak ada basa-basi lain. Itu lebih baik daripada di rumahku yang tidak ada pembicaraan sama sekali. Tidak ada yang peduli satu sama lain. Mama dan Papa terkadang juga tidak makan malam di rumah, mungkin mereka lebih memilih makan malam bersama klien daripada makan malam bersama anaknya.
Setelah selesai makan aku membantu Bunda membereskan meja makan. Lalu setelah itu aku berpamitan untuk pulang karena hari sudah malam. Bunda sempat menahanku untuk menginap kembali, tapi aku menolaknya mantap. Aku tidak ingin merepotkan Bunda lagi pula kasian Bi Yun sendirian di rumah.
"Kamu pulang di anter Radit aja, ya? Kan udah malam." ujar Bunda.
"Nggak usah, Bun. Aku bisa naik taksi atau pesen ojek online." Tolakku. Saat ini kami sedang duduk di tempat tidur Acha. Niat awalku ingin mengambil tas, tapi Bunda menahanku sebentar.
"Nggak, Bunda nggak mau ambil resiko lagi kayak dulu, tiba-tiba motor kamu mogok dan kamu sendirian di luar sana. Untung nggak papa, kalo sampe kenapa-kenapa gimana?" omel Bunda.
Aku hanya bisa tersenyum getir menanggapi ucapan Bunda. Mama dan Papaku saja tidak pernah sekhawatir kepadaku. Mana pernah mereka menanyakan kapan aku pulang, dengan siapa aku pulang, naik apa aku pulang. Pertanyaan yang sering mereka keluarkan adalah bagaimana nilai di sekolahku, apa semuanya baik, apakah aku bisa lulus tepat waktu. Sebenarnya aku sudah muak dengan pertanyaan itu. Entah apa yang akan mereka lakukan dengan bertanya kepadaku seperti itu.
"Tapi emang Radit mau, Bun?" tanyaku ragu.
Bunda tersenyum. "Mau dong, kalo nggak mau Bunda paksa nanti."
"Eh, jangan di paksa Bunda, kalo nggak mau nggak papa, kok."
"Yaudah kamu jalan sekarang, keburu malem."
"Tadi nggak boleh pulang sekarang disuruh cepet-cepet pulang." ucapku dengan gaya merajuk.
"Kamu kan kalo Bunda suruh nginep nggak mau, kalo pulangnya nanti keburu malem."
Aku tertawa sambil menggendong ranselku. Aku mengikuti Bunda yang berjalan keluar kamar lalu berjalan kearah pintu berwarna hitam yang kuyakini adalah pintu kamar Radit.
Bunda mengetuk pelan pintu itu sambil memanggil nama pemiliknya. Beberapa kali barulah pemilik kamar itu membuka pintu dengan hanya menggunakan kaus polos dan bokser, penampilannya acak-acakan khas orang bangun tidur.
"Kamu anter Mentari pulang, ya? Kasian dia pulang sendiri, udah malem." Pinta Bunda yang aku tahu tidak akan bisa di bantah oleh Radit.
Benar saja, Radit langsung mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamar. Bunda berbalik dan menggiringku ke lantai bawah dan duduk di ruang tengah.
"Mama Papa kamu nggak marah, kan?" tanya Bunda yang duduk sambil menatapku.
"Enggak, Bun."
Memang jawaban apa yang harus aku berikan selain itu. Mereka tidak marah bukan karena sudah mengizinkan, tapi lebih tepatnya tidak peduli. Mereka mungkin lebih baik tidak peduli daripada mengekangku dengan segala pertanyaan mereka lalu melarangku untuk melakukan ini tanpa memberiku kenyamanan berada di rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...