DUA PULUH EMPAT

27 1 0
                                    

Berdebar adalah salah satu ciri seseorang memiliki perasaan. Jangan berbohong, cukup nikmati karena kamu akan merindukan detakan itu suatu saat nanti.

***

Ingatanku mengenai pengakuan Elang tadi malam masih terngiang jelas. Aku masih belum menemukan jawaban yang tepat untuknya. Masih sulit untukku mencerna semuanya. Ternyata semua yang dikatakan Bintang benar, tidak ada persahabatan antara cewek dan cowok yang tulus tanpa salah satu diantara mereka memendam perasaan. Dan semuanya terbukti dengan pengakuan Elang kemarin.

Mungkin tidak semua hubungan harus tentang cinta, tapi perasaan tidak bisa ditahan. Perasaan itu muncul dengan sendirinya. Dan aku memahami apa yang dirasakan Elang. Tapi aku juga tidak bisa memaksa perasaanku untuk menyukai Elang. Aku berhak menolak Elang, namun disisi lain aku tidak ingin hubungan persahabatan kami merenggang dan akhirnya kami saling menjauh.
Bukan itu keinginanku.

“Lo kenapa, Ri?” Bintang memecah lamunanku.

“Enggak papa.”

Bintang tidak menjawab dan memilih beranjak dari tempatnya. Aku tahu pasti dia ke kantin. Tunggu, kantin mungkin bisa mengalihkan fikiranku tentang Elang. Karena aku hanya membawa novel milik Elang dan nanti pasti fikiranku justru tidak fokus pada bacaan tapi fokus ke pemiliknya.

“Bintang, mau ke kantin?”

Bintang menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. “Iya.”

“Aku ikut.” Aku berdiri dan berjalan bersama Bintang menuju kantin. Bintang sepertinya akan melemparkan pertanyaan, tapi aku mengkode mulutnya untuk diam.

Setelah sampai di kantin kami duduk di pojok kantin. Aku menyapukan mataku mengelilingi seluruh penjuru yang menawarkan suasana ramai. Ini kedua kalinya aku datang ke kantin. Pertama kali waktu itu aku membeli air mineral setelah pelajaran olahraga dan keadaan kantin juga sama ramainya dengan sekarang ini. Karena keramaian itulah aku tidak mau lagi ke kantin.

Tapi tidak kali ini, aku ingin mengalihkan semua masalah yang memenuhi fikiranku. Masalah dengan orang tuaku saja belum selesai dan sekarang aku harus memikirkan ucapan yang pantas untuk menjawab pengakuan Elang.

“Mau pesen apa, Ri?”

Aku menoleh menatap Bintang yang berdiri di samping meja sedang menunggu aku menjawab pertanyaannya. “Siomay sama es teh aja.”

“Oh, oke.”

Bintang meninggalkanku untuk membeli makanan kami. Ini pertama kalinya aku duduk di kantin sambil menunggu makanan. Aku mengitari seluruh sudut kantin agar fikiranku tidak kosong jadi aku bisa menghindar dari masalahku sejenak.

Dari arah pintu masuk kantin aku mendengar suara gelak tawa. Setelah mereka masuk baru aku tahu siapa pemilik suara tawa yang membahana itu. Ada tiga orang yang berjalan beriringan, salah satunya hanya diam menatap datar apa yang ada di depannya tanpa menghiraukan kedua temannya yang terbahak.

Aku terus menatap ketiga orang itu sambil mengernyit heran, apa yang lucu sampai dua diantaranya terbahak dan apakah kelucuan itu hanya menurut Adnan dan Valdo sampai Radit tidak tertawa sedikit pun.

Mataku tak sengaja bertemu dengan bola mata Radit saat cowok itu menyisir seisi kantin untuk mencari tempat duduk. Aku terdiam sesaat. Jantungku kembali berdegup tak karuan. Saat aku menyadari bahwa kami sedang bersitatap, segera kualihkan pandanganku menatap apapun dengan tergugup.

“Itu Mentari, kan? Duduk sana aja, yuk!” setidaknya diantara keramaian kantin aku masih bisa mendengar suara Adnan. Posisi dudukku juga tidak terlalu jauh dari mereka, aku berada di pojok depan kantin.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang