EMPAT PULUH SATU

25 2 0
                                    

Tenang saja, aku sudah terbiasa. Maka saat aku berpura-pura pun, terlihat sebenarnya.

***

Kalau untuk istilah anak zaman sekarang adalah baper, maka di dalam kamus hidupku tidak tertera kata itu sama sekali. Pada dasarnya baper terjadi pada orang-orang yang memiliki hati terlalu lemah sampai-sampai perbuatan sekecil apapun di masukkan ke dalam hati dan membuat spekulasi sendiri atas harapan yang sebenarnya tidak pernah ada.

Dan jika di simpulkan sebenarnya aku tidak masuk ke dalam kelompok seperti itu. Yang berharap mendapat perlakuan manis dari seorang cowok. Aku hidup berdasarkan realita saja, tidak membawa hati ke dalam setiap jengkal langkah yang ku jalani, aku hanya membuat segala hal menjadi mudah dengan mengucap dalam doa. Siapa yang bisa menjamin hidupmu akan baik-baik saja selain Tuhan?

Dan terkadang aku terlalu lengah dengan apa yang telah Tuhan rencanakan untukku. Aku yang terlalu pasrah atau memang ini jalan terbaik dari Tuhan. Seperti saat ini ketika Radit yang telah mengangkat tubuhku hingga ku kira aku terbang ke udara, tanpa aba-aba. Bahkan angin yang bertiup terkejut atas apa yang baru dilakukan cowok itu.

“Kamu apa-apaan coba tadi gendong aku seenak jidat? Kamu pikir aku ini karung beras?!” semburku tak peduli dengan konsentrasi mengemudi Radit yang mungkin saja terpecah.

“Beratan lo tapi.” Jawab cowok itu terlihat enteng. Aku membelalak.

“Enak aja ngatain, aku nggak segendut itu.”

“Lagian, diem dulu ngapa, sih? Tau orang nyetir, nggak?!”

Aku memutar bola mata malas. memilih melempar pandangan ke luar jendela di sampingku. Yang sialnya malah beralih pada kejadian beberapa menit lalu.
Yang saat itu teriakan, pukulan, bahkan gigitan tak berhasil membuat Radit menurunkanku dari gendongan ala-alanya. Meski terkadang cowok itu meringis karena kesakitan mungkin, namun sepertinya dirinya tak akan membiarkanku terlepas dari gendongannya.

Cowok itu menggendongku berjalan keluar UKS entah menuju kemana, tapi ku tebak sepertinya ke tempat parkir sepeda motor. Beberapa orang yang masih berada di sekolah menatap kami aneh, maksudku entah apa arti tatapan mereka aku tak mengerti dan tak ingin mengerti. Mungkin kalau di jelaskan aku bisa mati karena menahan malu.

Beruntungnya sampai di tempat parkir cowok itu segera menurunkanku. Tak berhenti di sana, mungkin telah menjadi skenarionya menurunkanku tepat di dekat mobilya. cowok itu segera membuka pintu penumpang depan mobilnya dan memaksaku masuk, sementara dirinya segera berlalu setelah menutup pintu, entah kemana.
Dan disinilah aku berakhir sekarang.

Seolah rasa pusing itu kembali datang, kepalaku kembali terasa berputar memandang luar jendela yang penuh dengan lalu lalang kendaraan. Kupijat pelipisku dengan tangan kanan berharap rasa pusing itu hilang.

***

Kufikir Radit akan membawaku pulang. Ternyata cowok itu membawaku ke rumahnya. Tanpa banyak berfikir Radit segera keluar dari mobil. Satu lagi hal yang tak kufikirkan sebelumnya. Radit tidak segera masuk rumah, melainkan memutari bagian depan mobil untuk ke membuka pintu penumpang di sampingku. Tak hanya itu, Radit juga menjulurkan tangannya kepadaku. Aku tak langsung menerima uluran tangan dari Radit seolah itu hal biasa bagiku. Ini terlalu mengejutkan.

Aku masih memandangi tangan yang ukurannya lebih besar dariku itu. ini pertama kalinya tangan besar itu terulur ke arahku.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang