EMPAT PULUH SEMBILAN

19 2 0
                                    

Upacara berlangsung begitu khitmat. Aku ataupun teman-temanku sepertinya tidak berniat untuk berbicara sedikitpun. Sampai akhir upacara dan seluruh penghuni sekolah seolah terpukau dengan seseorang kali ini. Pembina di depan sana bahkan sampai menyebut namanya berkali-kali. Aku ikut tersenyum senang dan Bintang yang berbaris di sampingku menyenggol lenganku bermaksud menggoda.

Hari ini siswa yang menjadi orang nomor satu di sekolah saat dihukum itu berbaris seperti anak-anak lain. Berseragam lengkap dan tidak terlambat. Bahkan ekspresi tercengang ditunjukkan oleh hampir seluruh siswa satu sekolah, mulai dari adik kelas hingga kakak kelas. Terlihat mengejutkan bagi seorang Radit menjadi seperti siswa teladan.

Lapangan itu terlihat riuh karena siswa yang berdesakan berjalan menuju kelas masing-masing. Hanya pengurus OSIS saja yang terlihat sibuk dengan peralatan upacara. Aku pun sama, segera masuk ke dalam kelas setelah upacara selesai. Bintang yang sedari tadi tak ingin jauh-jauh dariku terlihat sangat aneh. Mungkin biasa ketika ada PR yang akan dikumpulkan, namun mengingat hari ini sama sekali tidak ada tugas rumah maka itu menjadi sesuatu yang harus kuperhatikan. Tak luput dari senyum yang sedari tumbuh di bibir cewek itu.

Bahkan sampai duduk di bangku masing-masing pun Bintang seolah baru saja dilimpahi ribuan emas hingga membuatnya tak lelah tersenyum. Tatapan dan senyum itu sedikit menggangguku sebenarnya.

“Kamu kenapa, sih, Bi?”

“Gue seneng aja liat sahabat gue yang udah jomblo sejak lahir akhirnya punya pacar.”

Aku berdecak. “Berlebihan tau, Bi.”

“Secara, hidup lo itu terlalu flat dan tiba-tiba nggak ada angin nggak ada geledek, lo jadian. Seluruh Dunia harus tau.”

Aku memutar bola mataku, malas menanggapi Bintang yang keterlaluan sikapnya setelah mengetahui semuanya. Kemarin, Bintang sampai hampir pingsan mendengar Radit mengatakan hal yang selama ini mustahil menurutnya. Mengingat tentang pengakuan itu, membuatku meremas buku yang sedang kukeluarkan dari dalam tas dan seulas senyum terbit menghias di wajahku.

“Tapi, gue masih kepo, deh.”

“Apa?” tanyaku tanpa menoleh.

“Radit nembak lo gimana? Pake bunga? Atau cincin biar sekalian ngelamar lo mungkin.”

Aku membelalak dan menatap Bintang seketika. “Ngawur kamu,” ucapku tak terima sembari memukul lengan Bintang.

“Gue yakin dia pasti ngasih surprise yang romantis sampe lo nggak bisa lupa. Ya kan?” ucap Bintang dengan bangga.

Mau tak mau aku tersenyum lebar. Ditanyai seperti itu juga membuatku malu. Sebenarnya itu bukan hanya sekedar ‘surprise romantis’ seperti yang dikatakan Bintang. Lebih dari itu. Bahkan saat itu aku tak bisa bergerak sama sekali, seperti berada di dalam ruangan kosong dan hampa udara, namun di detik selanjutnya aku merasa terbang dan berada di dalam bahagia luar biasa ketika pelukan yang masih kuingat jelas itu menghangat di tubuhku.

“Iye, yang masih baru mah gitu, senyum senyum manis kek tai gitu.” Ucapan Bintang masih tak meredakan senyum dan rasa senang yang membuncah dalam diriku, ketika aku justru mengingat sesuatu.

“Eh, terus hubungan kamu sama Adnan gimana?”

“Nah, gue mau nanya ini kemaren. Kagak jadi gara-gara cowok lo ngasih berita menggemparkan ke gue.” Cewek itu memperbaiki posisi duduknya menghadapku. “Adnan nggak suka bubur, ya? Masa iya kemaren itu gue nawarin dia makan buburnya Pak Edi dia nggak mau. Padahal enaknya ngalahin pizza Italia. Emang tuh anak sukanya sama apaan coba?!”

“Terus nih, waktu gue ngobrol sama dia di kantin, tiba-tiba ada Rendi sama dia kayak musuhan gitu. Tatapannya beuh…serem kalo kata gue mah. Emang Adnan musuhan sama siapa aja?”

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang