Ayo bersama memulai langkah membuat senyum di foto kita menjadi nyata.
***
Pipiku memanas seketika mendengar ucapan Radit. Membuatku memalingkan wajah agar cowok itu tak mengetahuinya. Nyatanya sia-sia karena ternyata sekeras apapun usahaku, Radit selalu tau kapan aku merasa malu.
“Udah nggak usah sok malu gitu, lagian pake baju juga.”
Sontak mataku melebar menoleh pada Radit. Dalam satu detik tanganku diatas paha mampu berpindah untuk memukul lengan Radit keras hingga cowok itu terpekik pelan dan meletakkan ponselnya diatas meja. Seperti tidak terima, cowok itu menahan tanganku yang masih memukulnya hingga berhenti di genggamannya. Mata cowok itu menatapku lekat, dengan ekspresi serius. Lagi, aku menganggap cowok itu marah akibat pukulanku. Hingga membuatku menggigit bibir bawah dan menunduk dalam meski tanganku masih dicekal olehnya.
Semenit kemudian tawa meledak dalam ruangan itu. Aku mendongak menemukan Radit mulai mengendorkan sedikit cekalannya. Keningku berkerut menatapnya bingung.
“Kenapa ketawa?”
Setelah tawanya berhenti, cowok itu menatapku lagi, kali ini dengan senyum yang ehm manis. Matanya juga terlihat sangat teduh membalas tatapanku. “Gemes gue, muka lo jangan gitu lagi,” ucapnya lalu melepas cekalan tangannya dan memutus tautan mata kami. Aku masih memandang cowok ini tak percaya. Dengan segala kejutannya mampu membuat tubuhku hidup dalam ketidaknyamanan yang menyenangkan.
Tak lama, Eyang kembali dengan dua buah gelas diatas nampan. Aku tersenyum manis kepadanya yang sedang meletakkan gelas diatas meja di depan kami masing-masing lalu mengucap terima kasih. Eyang meletakkan nampan diatas sofa di sampingnya, beliau duduk bersebrangan denganku dan Radit.
“Ayo diminum.” Eyang menatapku dengan senyum yang masih terlihat manis di usianya yang tak lagi muda. Aku turut mengambil gelas berisi teh setelah Radit.
“Jadi kalian udah pacaran berapa lama?”
Seketika aku tersedak teh. Radit yang berada di sampingku dengan sigap mengambil gelas dari tanganku sembari mengelus punggungku. “Pelan-pelan.”
Bagaimana aku menjadi salah tingkah seperti ini? Mungkin dalam sehari wajahku sudah memerah berkali-kali. Aku dapat menangkap dengan mataku Eyang tersenyum penuh arti melihat hal di depannya ini.
“Nggak papa, kok.” Aku mencoba membuat Radit berhenti dan akhirnya cowok itu menjauhkan tangannya.
“Baru tiga hari lalu, Eyang.” Radit menjawab pertanyaan Eyang tadi dan membuatku membalalak menatapnya. Lalu segera kutundukkan kepalaku malu. Aku belum terbiasa dengan semua ini, terlebih ini pertama kalinya aku pacaran. Aku mengutuk diriku sendiri yang tak juga bisa tenang menghadapi Radit dan semua yang berhubungan dengan cowok itu. Terkadang gugup, cemas, tapi juga bahagia. Bisa melihat bagaimana aku ingin meloncat ketika melihatnya tersenyum begitu manisnya?
***
Setelah makan siang, aku membantu Eyang membereskan meja makan. Aku mencuci piring sementara Eyang memotong buah untuk sekedar cemilan. Setelah selesai, aku ikut duduk di samping Eyang yang sedari tadi bercerita tentang apapun yang diingatnya, terkhusus tentang Radit. Oh, cowok itu sekarang tengah tidur di kamar.
“Radit itu sebenarnya nggak bandel dulu, justru dia pinter. Nggak tau tiba-tiba begitu,” ucap Eyang bercerita. Aku tau tentang itu. “Kamu udah ketemu sama orang tuanya?”
“Udah Eyang,” jawabku sembari tersenyum. Setelah selesai mencuci piring, aku menyusunnya di dalam rak. Lalu duduk di samping Eyang, memilih mangga untuk dikupas.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...