LIMA PULUH DELAPAN

18 0 0
                                    

Terkadang sesuatu yang kamu punya bukanlah milikmu seutuhnya. Kamu hanya perlu menunggu sampai akhirnya Tuhan mengambilnya kembali darimu.

***

Kesunyian mencekik begitu erat. Rasanya apapun yang ada di sekitarku mencoba membunuhku perlahan. Begitu pun udara yang seolah beracun. Dinginnya udara menambah keheningan yang terasa ribuan kali lebih mencekam.

Mataku nyalang menatap ke depan. Mencoba menerjemahkan keadaan yang begitu rumit. Seperti berada pada labirin tua, dimana tak ada seorang pun yang mampu keluar setelah masuk ke sana. Jika ada satu orang yang bisa membawaku keluar dari semua hal ini, maka aku akan sangat berterima kasih kepadanya.

Aku sangat lelah, namun masih ingin seperti ini. Radit disebelahku juga sedari tadi diam, mungkin tak berani memecah suasana hening ini. Matanya juga sering beralih memandangiku. Tiga kali tangannya mengusap lenganku, namun aku berpura-pura tak merasakannya. Aku tak ingin peduli pada siapapun saat ini. Tidak ada yang lebih buruk dari terjebak diantara lubang yang kau masuki sendiri.

Sudah banyak doa yang kupanjatkan kepada Tuhan, namun rasa rindu yang tersimpan begitu dalam sehingga tak mudah bagiku untuk beranjak dari tempat ini. Bukan hanya rindu, terlebih keinginan untuk kembali. Rasanya sudah begitu lama aku tidak berjumpa dengannya. Aku ingin setidaknya sejenak saja ia datang, berpamitan, dan memelukku erat sebelum pergi selamanya.
Air mata serasa akan menetes melihat ukiran nama diatas nisan itu. Nama indah yang tak pernah kubayangkan akan pergi secepat ini. Setidaknya, aku bisa menatap nama indah ini setiap hari. Aku juga masih mengingat jelas, bagaimana wajah tegasnya itu meski jarang aku bisa bertemu.

Aku merasakan lagi tangan Radit menyentuh lenganku lalu mengusapnya disana. Seolah menyalurkan kekuatan untukku. Setiap sekali usapannya, mengingatkanku kembali pada seseorang disana, yang hampir gila melihatku. Juga ucapan Radit tadi yang sangat menusuk hati.

“Pulang, yuk! Udah sore,” ajak Radit. Cowok itu sudah akan berdiri ketika aku menahan tangannya untuk kembali berjongkok disamping nisan Papa.

Aku menatapnya sesaat, lalu beralih kembali pada ukiran nama Papa. “Ini Radit, Pa. Dia yang bawa Mentari sampai ke titik ini, kalau dia nggak ada mungkin sekarang Mentari masih di kamar, ngamuk-ngamuk. Mungkin juga Papa udah kenal, tapi dulu Mentari belum ngenalin ke Papa.” Aku mendesah. “Pa, Mentari pulang dulu. Besok Mentari datang lagi. Papa yang tenang disana, jangan banyak mikirin Mentari!”

Kuusap beberapa kali nisan itu sebelum akhirnya aku benar-benar bangkit, diikuti Radit. Sekali lagi, kuhembuskan nafas berat. Aku menatap Radit sembari mencoba tersenyum. Tatapan Radit sama sekali tidak menggambarkan bahwa cowok ini menyapa senyumku.

Aku beranjak lebih dulu, Radit menyusul di belakangku. Hingga masuk ke dalam mobil, aku maupun Radit tidak berniat untuk berbicara sedikitpun. Setidaknya keheningan ini sedikit membuatku bisa berfikir bahwa tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Papa adalah milik Tuhan, jadi aku tidak berhak marah jika Tuhan mengambilnya. Suatu saat, hal yang sama akan terjadi padaku juga.

Radit melajukan mobilnya saat kulihat hujan mulai turun deras membasahi bagian luar mobil. Aku menatap sekali lagi ke area pemakaman yang sepi. Makam Papa jauh disana, begitupun Papa. Namun ada satu bagian dari Papa yang menjadi bagian dari hidupku sekarang. Jantung yang selalu berdetak ini akan membuatku hidup selamanya.

Ramainya jalanan ibu kota tidak menyurutkan niat hujan untuk semakin deras mengucur. Namun tidak ada kilat ataupun suara gemuruhnya. Beberapa pengendara motor sengaja menepi, berlindung di depan ruko yang sudah tutup. Aku mengamati kemacetan ibu kota yang semakin menjadi karena hujan membuat air menggenang di jalanan meski tidak menyebabkan banjir.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang