LIMA PULUH LIMA

27 2 0
                                    

Aku sangat bahagia hari ini. Beberapa waktu lagi aku akan merasakan suasana rumah kembali dan aku bisa menghirup udara bebas. Sepuasnya. Aku bisa melihat hiruk pikuk kota Jakarta dengan segala kesibukannya.
Sedari tadi Mama bercerita tentang apapun itu sembari membereskan barang-barang ke dalam tas. Aku yang sudah hampir turun dari tempat tidur untuk membantu, ditahan oleh Mama. Katanya aku tidak boleh terlalu kelelahan.

Mama banyak berubah sekarang. Meski baru beberapa hari aku merasakannya, aku tahu perubahan itu dimulai semenjak kecelakaanku. Mungkin Mama merasa bersalah, namun sebisa mungkin aku menolak bahwa itu kesalahannya. Kecelakaan hari itu karena kecerobohanku, aku yang terlalu mengikuti nafsu.

“Nanti kamu mau langsung pulang atau jalan-jalan dulu?”

“Dilewatin jalan yang jauh aja, Ma.”
Mama berhenti melakukan aktivitasnya, menatapku sambil menyilangkan tangan ke depan. “Mama jadi curiga, pasti Radit suka bawa kamu jalan-jalan dulu. Iya, kan?”

Ucapan Mama membuatku tersipu. Merah jambu di pipiku akhirnya kembali lagi. “Yee…Mama sok tau!” jawabku mencoba menyembunyikan rasa malu.

Dentingan suara ponsel membuatku mengambilnya dari atas nakas bersamaan dengan Mama yang berlanjut membereskan barang-barang masih dengan menggoda yang kuabaikan karena ada pesan dari seseorang yang lebih menarik dari mendengarkan godaan Mama.

Pesan berisi foto-foto candid seseorang saat sedang bertanding antar kelas di sekolah. Terkadang aku juga bingung, cowok manis dengan segala kepandaiannya bersembunyi di balik topeng buruk yang membuatnya di pandang rendah oleh orang lain. Radit tidak pernah ingin muncul sebagai seorang laki-laki yang sempurna, ia hanya ingin dilihat sempurna dengan segala kekurangannya.

Dalam foto-foto itu juga terdapat beberapa cewek yang menampilkan wajah histerisnya. Mereka seolah tak kuasa menahan teriakan dalam tenggorokan. Dan mereka seolah tak menyadari bahwa cowok yang tengah mereka lihat sudah memiliki pacar.

Rasa cemburu dan iri tentu begitu mendominasi kali ini. Melihat cewek-cewek itu dapat memandang Radit dengan tatapan menginginkan. Ingin sekali aku berlari menuju sekolah dan menarik Radit untuk kubawa pergi. Menguncinya di sebuah gudang tua tanpa ada satu jalan keluar pun. Agar tak ada satu orang pun dapat melihatnya seperti itu.

“Cieee…foto pacar dilihatin terus.”
Sontak aku menoleh ketika kudapati kepala Mama tengah menjulur menengok ke layar ponselku yang jelas-jelas menampilkan potret Radit. Segera saja aku menyembunyikannya.

“Enggak, kok.”

“Enggak salah,” godanya lagi.

Aku yakin kali ini pipiku sudah merona dan rasa malu itu sangat tidak bisa di sembunyikan. “Apaan, sih, Ma!”

“Kamu takut, ya, kalo Radit ilang diambil orang?”

“Ma…”

“Biasa lah, namanya juga orang ganteng banyak yang mau, siap mental aja kamu.”

Aku tak menanggapi lagi ucapan Mama. Memilih turun dari tempat tidur untuk membereskan sendiri barang-barangku yang berserakan diatas nakas. Ini tidak biasa terjadi jika aku ada di rumah. Berada di rumah sakit membuat kepalaku sering merasa pusing, apalagi aku masih berada dalam proses penyembuhan.

“Kan udah Mama bilang, biar Mama yang beresin, kamu duduk disana aja.”

Aku berniat untuk tidak menghiraukannya, tapi gagal karena Mama sudah mencekal terlebih dahulu tanganku. “Bosen, Ma.”

“Ya kamu nonton TV atau telfonan sama temen kek. Atau chat-an sama pacar gitu?”

“Ma…” aku merengek sembari mendorong Mama menjauh. Awalnya Mama memang akan pergi, namun seperti baru melihat emas, dia berhenti di tempat.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang