Segala hal itu baik, hanya kesalah pahaman yang membuat semuanya menjadi buruk.
***
Setelah mengikuti kemana arah jalan cowok itu yang tidak terarah sama sekali, aku dan Radit sampai di sebuah tempat yang terdapat banyak kendaraan. Ya, biasanya disebut tempat parkir. Kufikir kenapa dari tadi tidak langsung kesini saja? Kenapa harus memutari seluruh penjuru pasar malam kalau tujuan akhirnya adalah tempat parkir? Padahal tempat kami berdiri tadi tidak jauh dari tempat parkir.
“Kenapa pake muter-muter, sih? Kan tadi harusnya belok kanan abis itu ke kiri aja udah nyampe.” Protesku saat cowok itu menaiki motornya.
“Bawel pulang sendiri.” Ucap cowok itu dingin sambil memakai helm.
“Ck.” Decakku sambil menghentakkan kaki ke tanah lalu berjalan mendekat ke motor cowok itu sebelum akhirnya aku naik ke atasnya dan duduk di jok penumpang.
Tanpa banyak bicara Radit langsung menancapkan gas dan menjalankan motornya menjauhi area pasar malam membelah ramainya jalanan kota. Tidak terlalu macet malam ini namun cukup ramai. Tanpa mempedulikan jantung penumpangnya yang hampir keluar dari tempatnya Radit berkendara dengan kecepatan tinggi. Benar-benar membuat jantungku berdegup kencang, tanganku yang tadinya berada di atas paha sudah mencengkeram ujung jaket Radit di pinggangnya. Sambil menutup mata aku merapalkan doa supaya Radit dengan berbaik hati menurunkan laju motornya.
Tapi mungkin semua itu tidak terkabul karena sekarang dengan tidak berdosanya Radit semakin mempercepat laju motor. Mataku semakin terpejam ketika Radit mengerem mendadak motornya dan membuatku terantuk punggung tegapnya. Tanpa ragu aku langsung memeluk Radit dari belakang sambil berkata lirih.
“Ya Allah selamatkan hamba.”
Aku tidak membuka mata sampai akhirnya Radit menghentikan motornya. Kubuka perlahan mataku dan langsung menangkap beberapa lapak pedagang kaki lima di sebuah tempat. Ketika aku mendongakkan kepalaku dan melepas tautan tanganku di perut Radit kudapatkan pemandangan mirip dengan yang ada di pasar malam tadi hanya saja disini tidak ada wahana atau permainan, semuanya dipenuhi orang yang menjajakan dagangan mereka.“Turun.” Aku menuruti perintah Radit dan mengedarkan pandangan.
“Kita mau ngapain?” tanyaku pada Radit yang sedang membuka helmnya.
“Makan.”
Radit berjalan mendahuluiku dan mau tak mau aku mengikutinya. Cowok itu berjalan santai seakan sudah hafal dengan daerah ini. Lalu langkahnya berhenti di depan sebuah tempat penjual berbagai macam makanan. Aku mengikuti Radit yang mendekat ke gerobak.
“Mau makan apa?”
“Ha? Aku batagor siomay aja, deh.”
“Minum?”
“Es teh aja.”
“Duduk disana.” Radit menunjuk pojok tempat duduk lesehan di belakang gerobak penjual. Aku menurut dan duduk menunggu.
Tak lama Radit kembali dan ikut duduk di hadapanku. Cowok itu mengeluarkan ponsel dan memiringkan posisinya menjadi landscape. Aku tebak cowok ini sedang bermain game.
Aku tidak mempedulikannya dan menyapukan mataku menatap sekeliling. Tempat ini tak kalah ramai dengan restoran jepang yang baru kukunjungi beberapa hari lalu bersama Elang. Walaupun tempatnya tidak sebagus dengan restoran bintang lima di luar sana, tapi aku yakin makanan yang disajikan tidak kalah enaknya. Lagi pula porsinya pasti lebih banyak. Kalau di restoran porsinya sedikit tapi dihias sebagus mungkin ditambah piringnya yang besar dan harganya yang mahal.
Ini pertama kali aku datang ke tempat ini. Bukannya aku tidak pernah makan di tempat pedagang kaki lima atau sejenisnya, malah aku sering makan di pinggir jalan. Tapi ini pertama kalinya aku mengetahui ada tempat khusus untuk para pedagang kaki lima.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Teen Fiction50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...