TIGA PULUH DUA

30 3 0
                                    

Kamu berbeda, karena kamu istimewa.

***

Bintang pergi dan menghilang di pintu kelas. Aku memilih mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang yang kuletakkan di atas meja. Kubuka aplikasi instagram yang langsung menampilkan beberapa akun penulis yang memposting tentang buku-buku mereka. Ada juga akun penerbit yang sengaja aku ikuti, mempromosikan buku terbitan mereka. Aku tidak terlalu tertarik mengikuti akun para artis apalagi akun gosip. Aku lebih memilih mengikuti akun penulis, penerbit, dan beberapa akun orang luar negeri. Seperti Chris Martin, Andrew Taggart, Taylor Swift, Ivan Martinez, dan beberapa cogan lain.

Aku juga suka stalking instagram cogan sekelas Manu Rios tentunya. Bisa menyegarkan mata. Awalnya aku tidak terlalu suka, tapi karena Bintang sering menceritakannya padaku aku jadi penasaran bagaimana rupa mereka dan benar, mereka memang tidak pernah gagal saat berfoto. Akun perempuan sekelas Carly Gibert, Bailee Madison, Summer Mckeen juga tak luput dari daftar following-ku.

Bosan juga melihat instagram yang tidak ada habisnya itu. Aku memutuskan berjalan keluar kelas sekedar mencari angin segar.
Kususuri koridor kelas yang ramai. Masih seperti ekspetasiku, banyak orang-orang melihatku dan beberapa di antaranya juga menyapaku padahal aku tidak mengenali mereka. Sebelum aku berpakaian seperti ini kemana mereka semua pergi? Tidak ada yang menyapaku ketika aku melintas di koridor ini.

Dasar memang. Aku tidak sepenuhnya menyalahkan mereka. Karena ego mereka pun bekerja ketika memilih teman. Siapa yang mau berteman dengan anak yang selalu bersama buku? Mungkin hanya sekian persen dari seluruhnya. Kelompok sepertiku biasa di panggil cupu di sekolahan. Tapi aku bersyukur tidak ada yang membully-ku.

Langkahku terus berjalan entah kemana. Dan ternyata aku sampai di taman belakang sekolah yang lagi-lagi sepi. Aku bersyukur tempat ini selalu sepi dan untuk hari ini juga. Karena aku tidak akan mendapatkan tatapan seperti tadi lagi.

Aku duduk di atas bangku taman dan menatap lurus ke depan. Tanganku berada di atas tas selempang yang kuletakkan di atas paha. Seketika aku teringat kejadian pagi itu, dimana Papa berbicara padaku tentang kepindahanku ke London.

Sejujurnya aku sangat senang bisa melanjutkan study-ku di kota itu, tapi aku belum sesiap itu untuk meninggalkan teman-temanku. Jika boleh memilih kenapa tidak sehabis ujian nasional saja? Itu artinya satu tahun lagi. Kenapa harus setelah aku selesai ujian kenaikan kelas?

Lamunanku tersadar ketika aku merasa ada seseorang yang duduk di sebelahku, namun posisinya sedikit menjauh. Aku menoleh dan mendapati seorang cowok.

“Ngapain kamu?”

Cowok itu hanya mengendikkan bahu acuh. Cowok di sampingku ini memakai kemeja putih dibalut jas hitam dan celana kain berwarna hitam, sepatu pantofel hitam, juga rambut yang kali ini tertata rapi. Aku sempat terpana melihat penampilannya yang berbeda dengan hari-hari biasanya.

Meski aku melihat dari samping tapi aku bisa menebak kalau Radit terlihat tampan dengan penampilannya kali ini.

Masih kuperhatikan wajahnya yang terlihat tenang menatap lurus ke depan. Hidungnya mancung dan matanya tidak terlalu besar tapi tidak juga terlalu kecil.

Dan ketika aku masih menikmati wajahnya tiba-tiba si pemilik menoleh dan menatapku. Dengan cepat kubuang wajahku ke depan, berpura-pura tidak melihat meski aku tahu dia menyadari kalau dari tadi aku memperhatikan wajahnya itu.

Radit masih terus menatapku. Aku bisa merasakannya. Tapi aku memilih berpura-pura tidak tahu. Apa cowok itu mau balas dendam karena tadi aku memperhatikannya? Huh, pendendam. Kurasakan matanya terus menatapku, entah tatapan apa. Aku tidak tahu. Aku tidak berani membalasnya.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang