Bintang masih saja menyalin tugas matematika milikku bahkan ketika guru biologi sedang menjelaskan pelajaran di depan kelas. Cewek satu ini tidak tahu takut kalau tiba-tiba Bu Rani memergokinya sedang menyalin tugas.
Bintang tidak terlalu suka pelajaran biologi karena itulah cewek di sampingku ini memilih menyalin tugas matematika dari pada memperhatikan Bu Rani sedang menerangkan di depan sana.
“Gue males hafalin itu nama-nama organ tubuh, nama latin, udah susah, namanya aneh lagi.” katanya waktu itu.
Bintang bukan hanya tidak menyukai pelajaran biologi, tapi hampir semua pelajaran tidak disukainya. Mulai dari yang mengandalkan hitungan sampai yang menghafal. Gadis ini hanya menyukai pelajaran seni. Entah itu seni tari, seni rupa, ataupun seni musik. Karenanya Bintang bisa menari walaupun tidak seluwes dancer terkenal, dia juga bisa menyanyi meski suara taylor swift lebih bagus dari suaranya. Kalau menggambar gadis itu tidak sebegitu sukanya, tapi gambarannya tetap lebih bagus dari gambaranku.
“Bi, nanti aja dong nyalinnya. Nanti ketauan Bu Rani.” Kataku pada Bintang yang masih saja menulis jawaban.
“Udah deh lo diem aja. Nanti kalo nggak selesai gue di hukum Bu Lusi emang lo mau tanggung jawab?” sahutnya.
“Enggak lah.”
“Yaudah diem.”
“Tapi nanti kalo ketauan Bu Rani kan masalahnya tambah gede, Bi. Kan bisa ngerjainnya pas istirahat.” Aku memandang Bintang yang masih bergulat dengan kertas folionya. Aku bahkan melupakan Bu Rani yang menerangkan di depan kelas.
“Lebih cepat lebih baik. Lo pernah denger istilah itu?”
“Ya tapi—”
“Apa ada cerita yang lebih bagus dari virus?”
Aku terkejut dengan suara lirih namun bernada tegas itu. ku. Kuangkat kepalaku sampai mataku menangkap Bu Rani yang sedang memperhatikan ke arahku, tepatnya ke arahku dan Bintang. Oh, habislah aku!
Bu Rani memang tidak memiliki suara yang besar seperti Bu Astrid, tapi kalau dia sudah berbicara pasti semua aura ketegasannya keluar. Guru ini juga cenderung menyindir siswanya dari pada menegur langsung.
Bintang menyikut lenganku yang terlipat di atas meja. “Elo sih, Ri.”
Sontak aku menoleh pada Bintang yang menuduhku atas kemarahan Bu Rani. “Kok aku? Kan kamu yang nyalin PR aku pas pelajarannya Bu Rani,” balasku lirih.“Lo harusnya diem aja pas gue nyalin. Merhatiin Bu Rani yang lagi nerangin, bukannya malah liatin gue sambil ngoceh mulu.”
“Kok kamu—”
“Kalau ceritanya belum selesai kalian bisa lanjutkan di depan kelas menggantikan saya.” Semua yang ada di dalam kelas itu terdiam. Tidak ada suara. Aku dan Bintang juga hanya bisa diam sambil menunduk dalam.
Mungkin Bu Rani memperhatikan Bintang yang sedang memainkan pulpennya hingga sekarang dia sudah berada di samping meja kami. Mengambil pulpen dari genggaman Bintang lalu mengarahkan matanya pada kertas-kertas di atas meja yang penuh dengan angka. Bu Rani membuat kami berdua tegang.
“Saya tidak mengajar matematika, tapi biologi. Ini PR?” tanyanya tenang namun tegas. Aku bisa merasakan aura kemarahan di sana.
Aku masih menunduk dalam-dalam, tidak berani memandang Bu Rani yang sedang mencoba mengendalikan kemarahannya. Aku baru tahu kalau ternyata Bintang menganggukkan kepalanya sebagai jawaban saat Bu Rani mengambil salah satu kertas di sana.
“Kamu mengerjakan atau menyalin?”
Tidak ada jawaban.Mata Bu Rani melirik keatas meja, tepatnya kearah kertas pekerjaanku. “Planetta Mentari Aurega. Kamu?”
Meski menunduk aku masih bisa melihat sekilas telunjuk Bu Rani menunjukku. Aku mengangguk.

KAMU SEDANG MEMBACA
50 DAYS
Fiksi Remaja50 hari itu 50 hari yang tidak mungkin kulupakan 50 hari yang menjadi bagian favorit dalam hidupku Jika boleh aku memohon satu permintaan Maka aku akan memohon kepada Tuhan Agar mengulang 50 hari itu Untukmu, Thank you for fifty days for me Best pic...