EMPAT PULUH TUJUH

28 1 0
                                    

Tidak perlu pura-pura peduli kalau tujuannya hanya menyakiti.

***

Seorang Mentari tengah terdiam terkejut saat ini mendengar suara Radit yang mengaum jelas di telinganya. Baiklah, cukup untukku menceritakan kejadiannya. Terlalu lelah mencerna maksud Radit mengatakan itu semua. Aku tak cukup mampu untuk mengerti. Bahkan tentang ajakannya yang menurutku begitu aneh.

Aku masih terdiam di tempat hingga ujung rambutku ditarik oleh cowok itu. Membuatku terhuyung ke depan dan hampir jatuh jika saja aku tak cukup mampu menahan tubuh. Seketika kekesalan itu kembali muncul. Cowok itu lari menjauh setelah membuatku sukses hampir mencium tanah.

Dengan kekesalan yang luar biasa, aku mengejarnya. Lagipula berada di sendirian adalah hal yang tidak lucu. Padahal beberapa saat lalu senyum manis itu mampu membuat tubuhku ikut tersenyum. Dan sekarang, beberapa detik setelahnya adalah kekesalan akibat ulah menyebalkan dari cowok itu.

Radit tidak berhenti bahkan setelah sampai di riuhnya taman. Beberapa kali cowok itu menolehkan kepala menatapku hingga dia menabrak seseorang sampai orang itu terjatuh. Membuatnya harus membantu orang itu berdiri dan menjadi kesempatanku untuk sampai di tempatnya. Aku tergelak saat orang yang ditabrak Radit tadi sudah pergi.

“Siapa suruh jail. Tuh karma,” cecarku masih dengan tawa meledek. Dapat kulihat Radit tak senang dengan ucapanku.

“Gue tarik, tuh rambut juga nangis lo.”

Dengan sisa tawa aku mengendikkan bahu. Radit tak menanggapi lagi dan terlihat sedang menatap seseorang. “Eh, liat deh. Ibu-ibu disana itu.” Aku mengamati arah yang ditunjuk tangan Radit. “Gue berani bilang sebelum naik dia itu sok-sok-an dan setelah naik dia mati ketakutan,” ucap Radit penuh percaya diri.

“Kamu itu sok tau.”

“Ya bener. Gini, liat mukanya aja kayak orang abis ketelen kucing.”

“Emang menurut kamu dia abis naik apa?”

Dengan matanya, Radit menunjuk satu wahana –yang menurutku mengerikan— dengan kereta kecil yang akan berjalan di atas rel khusus. “Kalah dia sama anak kecil.”

Aku menaikkan sebelah alisku. “Kok bisa?”

Cowok yang kini berada di sampingku ini menunjuk salah seorang anak kecil yang baru turun dari wahana itu. Terlihat jelas bahwa anak kecil itu sedang tertawa dengan keluarganya. Rautnya sungguh berbeda dengan ibu-ibu tadi yang justru menekuk muka dengan sisa keringat membasahi tubuhnya.

“Anak kecil aja biasa aja, masa iya ibu-ibu sampe jantungan cuma naik begituan.”

Mataku menyipit beralih menatap Radit. “Kamu ngeledekin aku, ya?”

“Enggak.”

“Ih, awas aja kamu. Palingan sama kecoa aja takut.”

“Sok tau lo. Paling juga lo yang loncat-loncat.”

“Nyebelin banget, sih. Awas aja nanti kalau aku ketemu sama tikus, aku kasih ke kamu.”

Radit berhenti dan menatapku. Aku sontak mengikuti gerakan berhentinya. “Emang berani pegang?”

Meski dengan ragu aku tetap mengangguk. “Berani lah.”

Radit menyeringai lebar. Matanya menyiratkan sorot meremehkan. “Ada tikus di kaki lo, tuh.”

Aku sontak terpekik hebat. Tiba-tiba saja meloncat ke depan dengan pandangan meneliti tanah di dekat kakiku ketika tak menemukan apapun disana. Kuamati penuh ketelitian sekali lagi dan tak ada apapun disana. Tatapanku naik dan menemukan beberapa orang menatapku dengan pandangan bingung.

50 DAYSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang