5) rantipole

3.6K 205 32
                                    

Sekuat-kuatnya seseorang jika ia menemukan titik hancurnya, runtuh dunia fantasinya.

-Querencia-

"Alby!"

Si pemilik nama yang nampak lesu terpaksa membuka matanya walaupun rasa kantuk masih menyelimutinya. Gadis itu pun mengangkat wajah dari lipatan tangannya. Ia mengucek mata, makin dibuka makin jelas  pandangannya.

Manik Alby awalnya tertuju pada Pak Anton. Namun, saat ia melirik sosok pria di samping wali kelasnya, Alby merasa tidak asing dengan pria itu.
Tunggu.

"Elo?!"

Alby dan Arga terkejut secara bersamaan. Mereka berdua nampak tak percaya dengan pertemuan untuk kedua kalinya. Alby nampak membulatkan mata, berbeda dengan Arga yang berusaha tenang agar nama baiknya tidak tercemar.

"Pak Anton, lebih baik pindahin dia krn kelas lain, deh," ujar Alby.

Sang empu menghela napas. "Siapa kamu kok menyuruh saya?"

Suara gelakan tawa terdengar dari seisi kelas. Namun, saat Alby melempar tatapan tajam, teman-temannya kontan terdiam.

Sedangkan Arga justru tersenyum miring. Kali ini ujian hidupnya lebih berat karena dipertemukan dengan gadis absurd itu.

"Cih!  Emang dunia sesempit ini, ya? Ngapain gue satu kelas sama tuh bocah ingusan!" umpat Arga dalam hati.

"Alby, jaga bicaramu! Bapak tidak suka jika anak didik Bapak berbicara semacam itu, apalagi kamu perempuan!" bentak Pak Anton.

Sentakan dari Sang wali kelas membuat Alby mati kutu. Jangan tanya bagaimana raut wajah Arga sekarang. Pria itu tersenyum penuh kemenangan.

Alby menghembuskan napas kasar  dengan perasaan yang masih kesal. Ia terpaksa harus mengalah, hanya karena tidak mau mengelak perintah orang tua. Jika sentakan tadi bukan berasal dari wali kelasnya, mungkin ia akan melakukan hal semena-mena terhadap si pembicara.

"Arga, maafin Alby, ya. Maklumin aja, dia emang cewek tapi sifatnya kayak cowok."

Alby mengumpat dalam hati. Sedangkan Arga malah terkekeh kecil di depan kelas, hal itu membuat bumbu peperangan Alby dan Arga semakin besar.

"Oke. Sekarang kamu mau duduk di mana, Arga?" tanya Pak Anton.

Tatapan pria tampan itu mengitari seluruh isi kelas. Menatap satu persatu penghuni kelas yang cocok untuk duduk dengan dirinya. Bahkan, sesekali ada siswi yang melambaikan tangan mereka, seakan memberi intruksi agar Arga duduk dengan mereka. Ada pula para kaum hawa menjerit tidak jelas ketika Arga menatapnya, bahkan sampai salah tingkah—langsung mengalihkan pandangannya.

Tidak melainkan Alby. Gadis itu memilih menatap area luar jendela. Malas rasanya bertatap muka dengan pria baru itu. Malas rasanya untuk memberikan ucapan selamat datang padanya.

"Terserah Pak Anton saja."

Pak Anton nampak menggumam. "Kamu duduk sama Gio, ya, di belakang," ucap Mr. Anton sambil mengacungkan jari ke kursi untuk Arga.

Arga menganga sejenak, lalumengangguk singkat. Usai itu, ia pergi menuju kursi yang ditunjuk. Pada saat  melewati meja Alby, sekumpulan emosi masih saja menyelimuti.

"Ngapain gue satu kelas sama lo, sih? Dasar tape basi. Satu meja lagi," cerca Arga setelah menjatuhkan bokongnya pada kursi.

Gio hanya melirik sekilas tanpa menjawab ucapan Arga yang berada di sampingnya. Ia lebih memilih kembali fokus ke wali kelasnya.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang