49. Thantophobia (2)

942 64 11
                                    

Kalau cewek selalu benar, kenapa mereka selalu memilih cowok yang salah?

-Querencia-

Beberapa minggu kemudian setelah perpisahan jelas dua belas telah usai, kini semuanya kembali berjalan seperti biasa. Termasuk bersekolah. Kelas sepuluh dan sebelas telah naik kelas, juga kedatangan peserta baru tak lain kelas sepuluh yang mendaftar di SMA Bina Bangsa. SMA favorit yang terletak di Pemalang.

Layaknya sekarang, pria tampan dengan seragam abu-abunya yang melekat tengah menahan emosinya. Pasalnya, sudah berjam-jam ia di sini- depan rumah Alby. Mereka memang sudah janjian untuk berangkat bersama mulai dari sekarang, bukan mereka yang menginginkannya, tapi orang tua mereka masing-masing yang memaksa perjanjian itu.

Arga beberapa kali menghembuskan napas kasarnya. Rambutnya yang rapi sudah tak terlihat lagi gara-gara terlalu lama menunggu sesuatu yang tidak pasti. Sedari tadi dia hanya membanting tubuhnya ke kursi pengemudi sembari menelepon orang yang tengah ditunggu.

Pria itu melirik arlojinya yang melingkar di tangannya. Menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Jika daritadi ia berangkat, mungkin sekarang sudah di dalam sekolah seperti hari-hari biasa. Namun kali ini, dia yakin akan terlambat.

Gadis dengan balutan seragam abu-abu itu menghampirinya. Seperti biasa, Alby masuk ke dalam mobil Arga dengan wajah masam. Rambut coklatnya yang diikat dua membuatnya lebih fiminin.

Arga melirik sinis ke arah Alby, "Ngapain aja nggak keluar-keluar? Bersemedi?"

"Asal lo tau, ya, gue kesiangan bangun!" balas Alby dengan raut wajah yang tidak santuy.

"Nggak sekalian aja bangunnya jam delapan biar kita bisa bolos sekolah?"

Alby melototkan matanya, "Astagfirullah setan banget sih, lo. Gue gini-gini anak rajin tau nggak!"

"Rajin dari gua kingkong!" decak Arga.

Alby sontak menjambak rambut pria di sampingnya dengan brutal. Arga meronta kesakitan, sampai Album akhirnya menghentikan aksi itu.

"Lo kenapa mukanya kayak lipetan kertas aja kalau sama gue?" tanya Arga yang sudah bersiap akan menancap gas-nya.

Alby berdecak. "Jangan wawancara sekarang. Kita udah telat. Cepetan jalan."

Arga membulatkan matanya, kemudian menancap gas-nya lumayan kuat.

"Lo yang buat gue terlambat, malah nyuruh-nyuruh gue buat ngebut, dasar nggak tau malu!" gerutu Arga.

Alby tak ada niatan untuk membalas perkataan Arga. Ia lebih memilih diam sambil menatap luar jalanan.

"Btw, rambut lo kayak bocah aja, anjir!" seru Arga.

Alby melototkan matanya. "Heh, ini mama gue yang nyuruh biar ganti penampilan. Padahal guenya ogah!"

Arga terkekeh sejenak, namun setelahnya keadaan menjadi hening. Arga mengemudi dengan cepat agar tak terlambat datang ke sekolah, membelah lautan kendaraan yang berada di jalan raya. Pria itu melirik kembali arlojinya, sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, dan mereka belum sampai setengah perjalanan. Mampus!

"Al," panggil Arga yang memecah keheningan.

Alby hanya menggumam sebagai jawaban.

"Lo nggak kepikiran soal perkataan temen-temen kemarin?"

Alby kali ini menoleh. "Perkataan yang mana?" tanyanya.

"Yang tentang perasaan kita berdua."

Alby terdiam sesaat. Ia bingung harus menjawab apa. Mood-nya tiba-tiba tidak jelas seperti ini. Pertanyaan dari Arga membuatnya mati kutu.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang