53. Ecophobia

897 66 6
                                    

Saling mencintai tapi tak saling memberitahu adalah hal yang menyakitkan.

-Querencia-

Mata pelajaran terakhir sangatlah membosankan. Di mana semua penghuni kelas harus menelaah kata demi kata yang diucapkan Bu Dyah, guru berhijab yang menjadi guru bahasa Indonesia dengan julukan super killer di kalangan kelas dua belas. Pembawaan Bu Dyah seperti pada umumnya, santai dan tidak berbelit-belit. Tapi penggunaan kata yang diucapkannya membuat siswa-siswi sering kali tidak mengerti apa yang tengah dibicarakan.

Sialnya lagi, hari ini kelas dua belas MIPA dua diberikan tugas untuk membuat puisi, dan harus selesai di waktu itu juga. Arga yang menyukai kata-kata bijak sontak lihai menulis di atas bukunya. Begitu juga dengan Gio yang sering meneliti puisi-puisi dari buku yang kerap kali dibacanya.

Berbeda dengan Alby. Gadis itu gusar. Menggigit pulpennya sendiri. Otaknya tiba-tiba lemot dan stuck. Jujur saja, ia tidak menyukai puisi. Bahkan dia tidak tahu cara membuat puisi.

Alby melirik kerjaan punya teman sebangkunya-Odel. Lalu tatapannya beralih ke bukunya sendiri yang masih kosong, tanpa sebuah coretan apapun. Semua teman kelasnya sibuk mengerjakan tugas itu, tapi tidak dengan Alby.

"Del, buatin gue dong. Gue nggak bisa bikin puisi," pinta Alby ke Odel.

Odel menoleh, "Gue aja ngarang, bego! Asal coret doang ini. Sesuai isi hati gue yang lagi kasmaran." Odel terkekeh setelah mengucapkan tadi dan melanjutkan proses menulisnya.

Alby memutar otaknya. Apa yang tengah ia rasakan? Rasa sakit hati? Senang? Sedih? Susah? Gundah? Kelaparan? Butuh sandaran? Kejombloan?

Gadis berambut cokelat itu menggeram. Gemas sendiri. Apa yang akan dibuatnya? Puisi tentang apa? Bahkan hidupnya lebih monoton dari dramatisnya sebuah puisi.

"Sudah selesai?"

Pertanyaan dari Bu Dyah sontak membuat Alby gugup. Ia belum menulis apapun. Berhubung waktu yang tak memungkinkan, akhirnya Alby menulis sesuai isi hatinya. Selang beberapa menit, semua penghuni kelas sudah selesai mengerjakan tugasnya.

"Oke, Bu Dyah akan memanggil satu-satu untuk maju ke depan kelas dan membacakan puisinya," ucapnya.

"Dimas Fernandez, maju ke depan dan bacakan puisinya!"

Dimas dengan urat malu yang sudah putus memasang tampang sok cool melangkahkan kakinya ke depan kelas. Mengangkat bukunya ke depan wajahnya, dan seperti biasanya, ketika ia di depan kelas harus melakukan ritual wajib. Tak lain mengedipkan mata ke arah gadis-gadis di dalam kelas. Walaupun itu terkesan menjijikkan, tapi para siswi tak keberatan karena Dimas memliki wajah yang lumayan, kecuali gerombolan Alby. Alby, Odel, Leora, dan Ata bergidik ngeri setiap kali Dimas melakukan ritual tadi.

"Dimas, silahkan dibaca," ucap Bu Dyah yang menatap siswanya dari kursi.

Dimas mengganguk tegas. Mengangkat bukunya tepat ke hadapan wajahnya. Menarik napas panjang dan menghembuskannya lagi. Bibirnya mulai mengucapkan bait demi bait puisi yang dibuat oleh tangannya sendiri.

Dia
Karya: Dimas Fernandez

Aku adalah aku, dia adalah dia
Jadi tidak ada hubungannya dengan dia
Walaupun judulnya adalah dia
Jangan kira puisi ini membahas tentang dia

Aku adalah anak SMA
Kelas dua belas MIPA dua
Dia? Kan sudah dibilang
Jangan kira puisi ini membahas tentang dia, paham?

Namaku Dimas Fernandez
Nama papaku adalah Juned Fernandez
Nama mamaku adalah Dahliaaaa doang
Nama temanku yang paling anu adalah Rey
Nama temanku yang paling uwu adalah Gio
Nama temanku yang katanya paling ganteng padahal kagak adalah Arga Mujidin
Nama temanku yang lain ....
Namanya? Baiklah aku katakan sekali lagi
Jangan kira puisi ini membahas tentang dia, ini untuk yang kedua kali

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang