18. Eccedentiest

1.6K 89 11
                                        

Seseorang yang dianggap kuat pun suatu saat nanti akan merasakan titik rapuhnya.

-Querencia-

Suara gemuruh berasal dari penonton di samping lapangan. Mereka nampak bahagia karena SMA Bina Bangsa telah memenangkan pertandingan basket melawan SMA Garuda. Tepuk tangan terdengar dari berbagai sudut. Bahkan, beberala ada yang menjerit ria kala salah satu pemain dari tuan rumah memasukkan bola ke ring dengan cantik.

Hari sudah mulai tenggelam. Usai pertandingan tadi, para pemain basket dari tim lawan—SMA Garuda tidak langsung pulang, melainkan bercakap dengan pemain SMA Bina Bangsa. Mereka nampak akrab, meskipun pertandingan tadi sangat sengit, namun tak ada hal bagi mereka untuk bermusuhan. Karena beberapa dari mereka telah berteman dekat satu sama lain.

Di sela obrolan mereka, terdapat candaan yang membuat terbahak seketika. Namun, tidak dengan Arga. Pria itu masih memasang wajah kecut ketika melihat seorang gadis dan pria yang tengah memojokkan diri. Tatapan tajam tercetak di mata Arga. Ia nampak tak suka. Tapi yang Arga lakukan hanyalah diam. Tak ingin membuat rusuh keadaan. Entah mengapa denyutan sakit hadir di dalam dadanya. Arga pun tidak tahu itu apa, namun ini sangat jelas terasa. 

Matahari telah mengecup bibir pantai. Namun mereka masih saja belum pulang. Dua remaja yang di pojok tadi pun belum beranjak. Arga heran sendiri, apa yang dibicarakan dua remaja itu? Arga mulai menerka-nerka. Lalu  ia beranjak dari tempat berkumpulnya tadi. Langkah kakinya menuju ke pusat perhatiannya sedari tadi.

"Pulang." Arga menarik lengan seseorang, membuat Sang pemilik lengan terkejut dan mengelak. Gadis itu mendengkus kesal.

"Gue lagi betah. Lo pulang duluan. Sendiri saja sana," jawab Alby dengan tatapan malas.

Arga merasakan hantaman keras dua kali lipat di dadanya. Ia benci, mengapa dadanya beberapa hari ini memiliki masalah? Sial!

"Nggak bisa gitu, dong. Gue udah nunggu lo daritadi, kenapa malah enak-enakan berduaan sama dia?" tanya Arga sembari melirik ke arah pria di samping Alby, dia Gerald, sahabat kecil Alby.

Alby memutar bola matanya malas. "Siapa suruh nungguin gue? Gue mau pulang bareng dia. Lo 'kan bisa pulang sendiri. Lagian, lo harusnya seneng dong kalau nggak nganterin gue. Kenapa sekarang lo malah maksa?"

Arga menggeram dalam hati kala mendengar jawaban dari gadis di hadapannya. Ia menatap tajam pria bernama Gerald itu.

"Tapi kan lo udah janji buat-"

"Lo nggak denger gue ngomong tadi pagi kalo perjanjian kita dibatalkan?" potong Alby cepat.

Arga bungkam. Ia tahu bahwa dirinya salah. Arga merasa bodoh hari ini. Seperti ada magnet di dalam dirinya untuk menarik tubuh ke arah dua remaja di depannya.

Dengan sigap Arga beranjak dari tempat, tak ingin membuat dirinya semakin terlihat bodoh. Lebih baik ia pergi dari tempat itu. Tatapan dari beberapa temannya mulai curiga dengan Arga yang tak biasanya pulang cepat.

Pria tampan itu memakai helm full facenya, kemudian melajukan motor menjauh dari area sekolah. Di tengah perjalanan, ia memegang dadanya sendiri. Denyutan sakit kembali terasa. Biasanya ada seseorang yang berbicara banyak ketika ia mengemudikan motornya terlalu cepat, namun sekarang hanya angin yang menemaninya. Arga beberapa kali menekan dadanya.

"Dada gue kenapa hari ini?"

***

Alby melambaikan tangannya. Menatap pria dengan mobil hitam yang dikemudikan pria itu. Dan dibalas senyuman hangat dari Sang pria. Dia Gerald, sahabat kecil Alby. Alby sangat senang. Akhirnya ia bisa dipertemukan dengan masa lalunya. Mobil hitam itu melaju, dan menghilang dari tatapan Alby.

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang