38. Baby Sitter

1.3K 76 13
                                    

Dia mulai datang melenyapkan luka yang membentang.

-Querencia-

Cahaya matahari yang masuk dari celah jendela membuat mata gadis yang berbalut piyama itu menyipit karena semburat sinar telah menusuk pupil indra penglihatannya.

Gadis cantik itu membuka matanya perlahan. Ia mengucek matanya, yang tadinya buram kini jelas terlihat. Sosok pria dengan sebuah kemeja berwarna putih itu berdiri di depannya. Alby terbahak saat melihat Devon sangat rapih. Bahkan cara mendekorasi rambutnya pun sangat eksotis.

"Astagfirullah. Lo mau ngapain, Von? Mau ke penghulu? Ada pasangannya nggak?"

Devon memutar bola matanya malas, sedangkan Alby turun dari ranjangnya. Tatapan Alby fokus ke arah koper hitam yang tengah digenggam di tangan kanan Devon.

"Pakai bawa koper segala lagi, rumah kita disita sama ibu kantin kah gara-gara gue nggak bayar banyak gorengan selama dua tahun?"

Pertanyaan itu membuat Devon terkekeh pelan. Tangan pria itu mengacak rambut Alby dengan tiba-tiba. Alby terdiam kala merasakan lembutnya tangan Devon yang mengacak puncak kepalanya. Namun setelah itu, Devon melepas tangannya.

"Maafin gue, ya, kalau gue punya salah sama lo. Maafin juga gue dulu pernah jadi cowok paling jahat yang hadir di kehidupan lo. Gue sekarang mau pergi, pasti gue akan kembali, bawa calon istri dan bawa hadiah buat adik gue yang paling nyebelin ini," ucap Devon.

Alby mengernyitkan dahinya. "Lo mau ke mana, sih, sebenarnya? Lebay amat pakai pamitan gini segala."

Devon tersenyum manis. "Gue mau pergi, cari duit buat gedein adik gue, buat bantu mama Bella. Dan bantu kerjaan papa juga," timpalnya.

"Sore nanti lo mau tinggal bareng Arga, 'kan? Gue saranin jangan satu kamar sama seorang cowok yang belum muhrim-nya. Kadang cowok suka khilaf. Kalau Arga nyakitin lo atau siapapun yang nyakitin lo, bilang sama gue. Gue nggak akan tanggung-tanggung buat matahin si tulang pengganggu itu," lanjut Devon.

Alby termenung. Ia sontak memeluk erat Devon. Menangis di pagi hari membuat peristiwa baru bagi Alby yang tidak pernah menangis di awal memulai kehidupan ini.

"Kenapa harus ninggalin gue?"

Devon mengelus puncak kepala Alby. "Nah, lo sekarang tau kan gimana rasanya ditinggalin? Keadaan yang lo rasakan sama seperti kejadian Arga tadi malam. Dia malah lebih berat, dari kecil ditinggal, dan sekarang ditinggal lagi."

Alby menangis semakin kencang. Ia tahu jika ini menyakitkan. Tapi sekarang dia percaya, bahwa ada seseorang lain yang lebih banyak menyimpan luka darinya.

"Hati-hati, Von. Suatu saat nanti gue pasti rindu sama lo," ucap Alby seraya melepaskan pelukannya.

Devon mengangguk sebagai jawaban. Pria itu menarik tangan Alby keluar dari kamar. Mereka menuju ke ruang tamu, di mana sudah ada Bella dan Bisma yang duduk di sana.

"Devon, udah siap?" tanya Bisma.

Devon mengangguk. "Iya, Pa. Ayok berangkat."

Alby mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Devon!"

Alby meraih tangan kakaknya. "Jangan pergi! Lo 'kan belum kelulusan! Jangan kerja dulu!"

Devon terkekeh pelan. "Lo kira gue kerja di mana, Al? Kan kantor Papa deket dari sini, paling cuma satu jam sampai."

Alby membulatkan matanya. "Terus maksud lo bawa koper kayak tadi ngapain?"

Devon terbahak. Ia memberikan koper itu ke tangan Alby. "Nah, buat wadah air mata lo."

Querencia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang